Baubau
Suara Pembaca Kasamea.com
Ulasan dibawah ini bersumber dari Pembaca Kasamea.com, yang kemudian diolah oleh Redaksi Kasamea.com. Ditujukan kepada para pemangku kebijakan pada Pemerintah Kota Baubau, dalam bersiap, menyikapi isu nasional/internasional terkini. Semoga bermanfaat!
Mumpung sedang Finalisasi RKPD 2023, diharapkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), khususnya leading sector perencanaan kerja, dapat merespon perkembangan isu ketahanan pangan.
Kami di Komunitas sudah bergerak untuk siaga kerawanan pangan, yang indikasinya sudah mulai terlihat di beberapa negara, seperti Aljazair, Argentina dan Turki, yang melarang ekspor daging sapi. Juga Mesir, Bulgaria, Ukraina dan Zimbabwe yang melarang ekspor kentang. India, Hungaria, Serbia, Kazakhstan dan Rusia melarang ekspor gandum, dan tetangga kita, Malaysia yang sudah melarang ekspor ayam.
Tantangan dunia selanjutnya setelah pandemi dan rebound economy, adalah kerawanan pangan. Indonesia jika tdk dapat mengantisipasinya, maka akan berhadapan dengan tingginya harga bahan pangan yang saat ini sudah mulai merangkak naik. Selanjutnya, akan berimbas pada tingginya inflasi.
Fokus RKPD 2023 seharusnya adalah penguatan basis pangan pada skala RT. Entahlah, OPD kita seperti tidak punya fokus dan terjebak pada rutinitas perencanaan yang jauh dari solusi.
Bro, dalam konteks Kota Baubau, Pemkot harus segera mengeksekusi dan mengaktifkan BUMD, yang lokusnya di Kelurahan-Kelurahan. Jika tidak, maka Pemkot dapat mencari solusi efektif lainnya, seperti mengaktivasi Forum UMKM secepatnya, sebagai Distributor unit-unit usaha Komunitas Berkebun, yang sudah lahir sejak 2020 lalu. Atau mencari solusi efektif lainnya.
Intinya adalah, fungsi BUM Kelurahan harus diaktivasi sebagai wadah untuk implementasi circular economy pada level Kelurahan.
Uraian diatas merespon Opini yang tayang di media The Jakarta Post, berjudul:
Ekonomi sirkular desa untuk melindungi dari inflasi, menjaga ketahanan pangan
Sudibyo (The Jakarta Post)
Jakarta Selasa 14 Juni 2022.
Sementara pandemi telah menunjukkan tanda-tanda mereda, diikuti oleh rebound ekonomi yang diharapkan, kemungkinan krisis pangan akan menjadi tantangan global lainnya. Meningkatnya disparitas permintaan pangan yang dihadapi penduduk diperparah dengan perang Ukraina dan Rusia yang berdampak pada suplai pangan.
Perang kedua negara menyebabkan produksi gandum turun 29 persen, jagung 15 persen, dan bunga matahari sebagai bahan minyak goreng turun 72 persen. Akibatnya, permintaan minyak sawit sebagai substitusi menunjukkan tren yang meningkat. Banyak pemerintah telah menunjukkan indikasi krisis pangan di negara mereka dengan melarang ekspor komoditas vital.
Misalnya, Aljazair, Argentina dan Turki telah melarang ekspor sapi. Sementara negara lain seperti Mesir, Bulgaria, Ukraina dan Zimbabwe telah melarang ekspor kentang. India, Hungaria, Serbia, Kazakhstan dan Rusia telah melarang ekspor gandum. Malaysia melarang ekspor ayam.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) Mei menunjukkan laju inflasi tahunan mencapai 3,55 persen. Dari laju inflasi, 0,16 persen disumbang oleh fluktuasi harga telur, bawang merah, dan daging sapi.
Ini bisa menjadi indikasi dan tanda lain kemungkinan krisis pangan di Indonesia. Pemerintah telah mengambil beberapa langkah antisipatif yang krusial, seperti menyiapkan dana perlindungan sosial hingga tahun depan dan subsidi peralatan produk pertanian, termasuk pupuk dan alat pelindung tanaman.
Yang menarik, peluang untuk menggenjot produksi di samping upaya menahan inflasi harga pangan datang dari ekonomi sirkular berbasis pangan di perdesaan. Apalagi, tahun ini dana desa akan disalurkan untuk ketahanan pangan dan hewan.
Dinamika makanan di Indonesia
Pangan mencakup komoditas pertanian dalam arti luas, namun masalah yang dibahas sebagian besar terkait dengan padi, jagung, daging, telur, dan ikan. Ketahanan pangan ditunjukkan dengan ketersediaan pangan, seperti produksi yang tinggi, ketersediaan stok dan keseimbangan ekspor dan impor yang positif.
Dimensi cakupan pangan meliputi pemerataan pangan dan cakupan pangan secara fisik, ekonomi dan sosial. Dari segi kualitas dan ketahanan pangan diukur dengan target konsumsi energi 2.100 kalori per orang per hari (Kkal/modal/hari) dan 57 gram per orang per hari protein.
Sayangnya, pandemi COVID-19 telah menurunkan tingkat ketahanan pangan di banyak negara, termasuk Indonesia. Antara tahun 2020 dan 2021, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia turun 12 poin menjadi 59,2 dari maksimum 100; 33 persen di antaranya karena pengelolaan sumber daya alam yang benar-benar diarahkan pada ketahanan pangan.
Menurunnya ketahanan pangan terutama mempengaruhi akses atau coverage, turun dari 79,0 menjadi 74,9 poin. Artinya, masyarakat Indonesia akan kesulitan mengakses pangan.
Dua kebijakan penting telah menjadikan desa sebagai tameng terhadap inflasi untuk menjaga ketahanan pangan di pedesaan. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang APBN 2022 mengamanatkan alokasi prioritas minimal 20 persen dari dana desa untuk ketahanan pangan dan hewan; ini berarti Rp 13,6 triliun (US$924,88 juta) dari Rp 68 triliun dana desa 2022. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan belanja dana desa untuk ketahanan pangan sepanjang 2015-2011 yang mencapai Rp 6,59 triliun. Arah kebijakan kedua bersumber dari Peraturan Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21/2020 yang mengamanatkan pencapaian SDGs Desa Goal 2: Desa tanpa kelaparan. Targetnya adalah prevalensi penduduk kurang gizi nol persen dan perwujudan kawasan pertanian pangan yang berkelanjutan.
Disusul dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Belanja Dana Desa Tahun 2022 yang meliputi pengembangan usaha pertanian percontohan, pengembangan lumbung pangan dan pengolahan pasca panen dll.
Ekonomi Lingkar Desa
Ternyata warga desa bisa memetik manfaat dana desa lebih lama melalui ekonomi sirkular pangan. Banyak desa yang berhasil menerapkan ekonomi sirkular, seperti desa Cibiru Wetan di Bandung, Jawa Barat.
Di desa, pupuk kandang, pupuk cair dan padat yang bersumber dari kotoran ternak, serta limbah rumah tangga dan warung diolah menjadi pupuk tanaman. Pemerintah daerah bersama Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) mengelola ekonomi sirkular secara berkelanjutan. BUM Desa mengumpulkan berbagai pupuk yang dihasilkan oleh penduduk desa setempat melalui usaha mereka, sementara pemerintah desa mendorong kelompok tani untuk memanfaatkan pupuk organik yang dijual oleh BUM Desa.
Komoditas yang ditanam atau dikembangbiakkan dipilih berdasarkan kebutuhan penduduk setempat. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan jenis makanan yang laris di warung-warung desa. BUM Desa menerima sayuran dan telur sebelum dijual ke warung makan. BUM Desa menetapkan harga komoditas pada tingkat yang lebih rendah dari harga pasar untuk menjamin akses masyarakat terhadap protein.
Pemerintah daerah juga mendorong warga desa untuk mengkonsumsi makanan olahan lokal sebagai makanan tambahan bergizi di posyandu dan berpartisipasi dalam program pemberdayaan kesejahteraan keluarga dan kegiatan peningkatan gizi lainnya. Sebagian kotorannya bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan, sedangkan sisa-sisa tumbuhan dan belatung bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi pelet untuk pakan ternak.
Ekonomi sirkular pangan desa memiliki dua fungsi utama. Pertama, peredaran material tanpa henti, mulai dari pemupukan, penanaman dan penjualan hingga sampah yang bisa didaur ulang menjadi pupuk kembali, disusul dengan peredaran ekonomi. Setiap fase diikuti dengan penyerapan tenaga kerja dan inovasi sehingga nilai tambah ekonomi selama sirkulasi material dapat terakumulasi.
Kedua, lingkaran ekonomi pangan relatif tertutup dalam satu desa atau antar desa. Asupan produksi dan konsumsi berada di desa sendiri, dengan biaya transportasi dan komponen keuntungan yang sangat minim sehingga penyediaan pangan tidak mengakibatkan inflasi yang signifikan. Hal ini memastikan dana desa tetap berada di desa, sementara penduduk desa setempat dapat memanfaatkan akumulasi manfaat yang terus menerus.
Selanjutnya, berita media Kasamea.com berjudul:
Ini Mantap! Wujudkan Indonesia Timur Lumbung Pangan Nasional, Kemendes PDTT Gandeng IFAD
Percepatan pembangunan desa di Kawasan timur Indonesia menjadi salah satu fokus Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDTT). Melalui Program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD), desa-desa di bagian timur Indonesia diarahkan agar mampu mencapai ketahanan pangan dan menguatkan sektor ekonomi inklusif.
Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT Taufik Madjid mengungkapkan, Kemendes PDTT bekerja sama dengan International Fund for Agriculture Development (IFAD), melalui Program TEKAD, akan fokus mendorong desa-desa di Kawasan Indonesia Timur sebagai lumbung pangan sehingga mampu mendukung ketahanan pangan nasional.
Taufik Madjid menjelaskan Kawasan timur Indonesia mempunyai potensi sangat besar sebagai lumbung pangan. Wilayah-wilayah di Kawasan Papua, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur sejak lama dikenal dengan kondisi tanah subur yang bisa menghasilkan berbagai produk berkualitas sektor pangan mulai dari sagu, padi, jagung, hingga umbi-umbian.
“Program Tekad sangat relevan bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa di Kawasan Indonesia Timur. Ada beberapa hal yang perlu kita kerjakan cepat, dari mulai konsolidasi program, evaluasi untuk percepatan program hingga evaluasi kekurangan untuk kita benahi agar target yang ditetapkan bisa segera tercapai,” ujar Alumnus PMII asal Ternate ini, saat membuka Wrap-up Meeting ISM Program TEKAD, kerja sama antara Kemendes PDTT dengan IFAD, di Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Taufik mengatakan, Program TEKAD ini akan menyasar sekitar 412.300 rumah tangga, dan memberi manfaat untuk 1.855.350 orang. Peserta program ini tersebar di 500 desa inti, 1.220 Desa KLASTER di 25 kabupaten, di 5 provinsi wilayah Indonesia Timur.
“Desa-desa INTI pada nantinya harus didesain sedemikian rupa, agar mudah di replikasi oleh desa klaster. Selanjutnya, sebanyak 1.720 Desa yang menjadi sasaran dalam program ini harus bisa menjadi desa percontohan bagi puluhan ribu desa lainnya di Indonesia,” urai Taufik.
Kejelasan sasaran dan target program ini, lanjut Taufik akan ditunjang dengan integrasi data desa berbasis SDGs Desa. Dengan data desa ini diharapkan pelaksanaan Program Tekad bisa tepat sasaran dan tepat manfaat.
“Harapannya kolaborasi yang efektif antara kader kampung program TEKAD dengan pendamping desa, serta dukungan data desa dapat segera mengakselerasi percepatan pembangunan desa-desa di Kawasan Indonesia timur,” kata Taufik.
Senada dengan Taufik, Mr Ivan Cossio, Country Director IFAD untuk Indonesia, mengapresiasi Kerjasama tersebut. Menurut Ivan, IFAD telah cukup lama menjadi salah satu mitra kunci dalam mendukung pembangunan pedesaan yang berkelanjutan di Indonesia. Ia juga memuji terobosan Kemendes PDTT terkait data SDGs Desa.
Menurutnya, informasi yang lengkap dan update dari Data SDGs desa, adalah roadmap yang jelas serta panduan efektif untuk pencapaian tujuan program.
“Ini terobosan yang luar biasa. Ini juga sesuatu yang tidak umum, harusnya Kementerian desa bisa membanggakan data ini. Data ini sangat bermanfaat, bahkan untuk kesuksesan program pemberdayaan di desa,” ujar Ivan.
Sementara itu, Reehana Raza selaku APR Regional Director IFAD juga mengapresiasi Langkah pemutakhiran data yang dilakukan Kemendes PDTT. Menurutnya, akurasi Data SDGs Desa akan sangat bermanfaat dalam memonitoring pelaksanaan program.
“Terima kasih, itu kabar baik kami. Karena data memang sempat menjadi kendala. Jadi nanti kita bisa secara berkala konsolidasikan lagi pemanfaatan data untuk digunakan dalam manajemen pelaksanaan proyek.” ucap Reehana.
Dalam acara itu Taufik Madjid didampingi Dirjen PEID Harlina Sulistyorini, Direktur Promosi dan Pemasaran Produk Unggulan Desa, yang juga Plt Direktur Pengembangan Produk Unggulan Desa, Syahrul; Kepala BPI Ivanovich Agusta dan Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Cece Yusuf.
Dari IFAD dihadiri Ms Reehana Raza, APR Regional Director, Mr Nigel Brett, Former APR Regional Director, Mr Liam Chicca, APR Portfolio, Mr Ivan Cossio, sebagai Country Director IFAD untuk Indonesia. [Red]
Komentar