Bupati Buton Banding, Kuasa Hukum Uraikan Dalil

Kendari

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari mengabulkan gugatan Penggugat (enam Kepala Desa: Kancinaa, Kondowa, Megah Bahari, Matawia, Wowola, dan Suka Maju).

Amar putusan terangkum dalam empat poin :
1.Mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya;
2.Menyatakan batal Surat Keputusan Bupati Buton nomor : 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak diwilayah Kabupaten Buton tahun 2018 tertanggal 11 Mei 2018, khusus dalam lampiran II yaitu : 1. Kecamatan Pasarwajo, Desa Kancinaa nomor urut 2; 2. Kecamatan Pasarwajo, Desa Kondowa nomor urut 3; 3. Kecamatan Lasalimu Selatan, Desa Megah Bahari nomor urut 30; 4. Kecamatan Wolowa, Desa Matawia nomor urut 44; 5. Kecamatan Wolowa, Desa Wolowa nomor urut 46; 6. Kecamatan Wolowa, Desa Suka Maju nomor urut 47.

3.Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Keputusan tata usaha negara berupa Keputusan Bupati Buton nomor : 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak diwilayah Kabupaten Buton tahun 2018 tertanggal 11 Mei 2018 (dalam lampiran II sama dengan butir 2)
4.Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 476.500,-

Atas putusan ini, Bupati Buton mengajukan upaya hukum Banding.

Kuasa Hukum Bupati Buton, Munsir SH mengatakan, sesuai aturan, Pilkades serentak dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam enam tahun, dan tidak dibolehkan lewat dari tiga kali. Namun kata dia, dibolehkan bila pelaksanaannya dua kali dalam enam tahun tersebut.

Pilkades serentak dalam waktu enam tahun dilaksanakan secara bergelombang, sesuai dengan masa jabatan Kades enam tahun. Untuk mengejawantahkan makna bergelombang, maka ada regulasi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 112 yang menjelaskan, bahwa untuk pengaturan interval waktu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati (Perbup).

Kata Munsir, regulasi tentang Pilkades di Buton diatur bahwa, interval waktu yang dimaksudkan diatas, setiap dua tahun sekali. Dilaksanakan tiga kali, setiap dua tahun sekali, dalam enam tahun. Di Buton sendiri terhitung sejak 2016, jadi Pilkades di Buton tidak mungkin dilaksanakan ditahun 2017 atau ditahun 2019. Pelaksanaannya hanya pada 2016, 2018, dan 2020.

Lebih lanjut Munsir menjelaskan, Pilkades mengacu pada Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah RI nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sehingga dapat dikatakan, setiap nafas, setiap langkah Bupati harus selalu mengacu pada regulasi, peraturan.

Kepada Vonizz.com, Munsir mengurai secara gamblang dalil yang mendasari pihaknya menempuh Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha gara (PTUN) Makassar.

Mengapa enam Desa Penggugat dikelompokkan dalam pelaksanaan Pilkades serentak 2018?

Munsir menjelaskan, jabatan Kepala Desa (Kades) enam Desa tersebut akan berakhir tahun 2019, tetapi tanggal dan bulan berakhirnya masa jabatan mereka berbeda-beda. Misalnya, ada yang berakhir bulan Maret, atau bulan Juli. Ia mengkonstruksikan, Penggugat keberatan karena Desa yang dipimpinnya dimasukan dalam Pilkades serentak tahun 2018, menurut Penggugat, masa jabatan mereka harus berakhir tahun 2019. Penggugat keberatan karena melihat tahapan yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Buton nomor 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang melaksanakan Pilkades serentak tanggal 11 Mei 2018.

Dalam lampiran I, karena terdapat pelantikan pada Desember 2018, sehingga Penggugat khawatir pelantikan tersebut mengamputasi sisa masa jabatannya. Dengan terbitnya obyek sengketa SK Bupati Buton nomor 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang akan melaksanakan Pilkades serentak tertanggal 11 Mei 2018, ini menurut Penggugat, merugikan mereka secara materil dan immateril. Menjawab itu, Munsir mengatakan, Undang-Undang (UU) Desa mengatur Pilkades dilaksanakan secara serentak, secara bergelombang. Peraturan pelaksanaan UU Desa juga dijelaskan, bahwa pelaksanaan Pilkades secara bergelombang.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dijelaskan pelaksanaan Pilkades secara bergelombang, didalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Buton dijelaskan pelaksanaan Pilkades secara bergelombang, didalam Peraturan Bupati (Perbup) Buton juga dijelaskan pelaksanaan Pilkades secara bergelombang. Pelaksanaan Pilkades secara bergelombang ini dalam kurun waktu enam tahun, sesuai dengan masa jabatan Kades. Dijelaskan dalam Permendagri, bahwa pelaksanaan Pilkades secara bergelombang dilakukan dengan interval waktu, artinya ada pembatasan, dilaksanakan paling banyak tiga kali dalam kurun waktu enam tahun.

”Pilkades bisa dilaksanakan satu kali, bila dalam pengelompokannya Desa-Desa itu berdekatan, dan tidak saling mengganggu. Boleh dilaksanakan paling banyak tiga kali, dan tidak boleh melewati empat kali, karena itu ketentuan peraturan,” jelasnya.

Lanjut Munsir, didalam Permendagri disebutkan, bahwa interval waktu pelaksanaan Pilkades diatur dalam Perbup, kemudian didalam regulasi Buton dijelaskan, bahwa interval waktu Pilkades dilaksanakan setiap dua tahun sekali, dalam kurun waktu enam tahun. Ia mengajak untuk melihat kembali sejarah pelaksanaan Pilkades di Buton, sejak lahirnya UU Desa, sejak kapan pelaksanaan Pilkades di Buton?. Fakta, Pilkades serentak di Buton sejak lahirnya UU Desa dilaksanakan tahun 2016.

Sesuai Permendagri yang mengatur interval waktu pelaksanaan Pilkades dua tahun sekali, maka interval dua tahun dari 2016, itu dapatnya 2018. Karena itu, Pilkades kedua di Buton dilaksanakan pada 2018. Bila menghitung dari 2016, maka tepat dua tahun. Munsir menganalisa, Penggugat keberatan karena dimasukan dalam Pilkades serentak 2018.

Bila mengikuti kehendak Penggugat, bahwa Pilkades dilaksanakan saat masa jabatan Penggugat berakhir pada 2019, maka Bupati Buton melanggar hukum, karena sudah lebih dari dua tahun, baru dilaksanakan Pilkades (terhitung dari 2016). Bila mengikuti kehendak Penggugat, bahwa Pilkades dilaksanakan pada 2019, kembali melihat lagi masa jabatan para Penggugat sebagai Kades yang berakhirnya tidak bersamaan.

Jabatan para Penggugat sebagai Kades, ada yang berakhir Maret, ada pula yang berakhir Juli. Sehingga menjadi rancuh untuk menentukan pelaksanaan Pilkades serentak.

“Jadi sebenarnya kita harus laksanakan pada bulan berapa?, supaya semangat atau spirit UU Desa itu tepat mengena. Bukankah pelaksanaan Pilkades serentak itu dalam rangka efektivitas, efisiensi, penghematan keuangan negara. Kalau Pilkades dilaksanakan satu-satu, seperti kehendak Penggugat, menyesuaikan dengan berakhirnya masa jabatan Penggugat sebagai Kades, ada yang Maret, ada yang Juli, berarti bukan lagi Pilkada serentak namanya,” tegas Munsir.

Iapun mengajak berhitung kembali, mungkinkah Pilkades enam Desa (obyek sengketa) dilaksanakan pada 2020?. Mengacu pada aturan Pilkades serentak dilaksanakan dalam dua tahun. Di Buton pelaksanaan Pilkades serentak terhitung sejak 2016, sehingga pada 2017 tidak bisa dilaksanakan Pilkades. Karena pelaksanaan Pilkades pada 2018, sehingga pada 2019 tidak bisa melaksanakan Pilkades.

Sebab sesuai aturan, pelaksanaan Pilkades serentak harus dua tahun. Oleh karena itu, dari interval waktu pelaksanaan Pilkades pada 2018, maka Pilkades serentak berikutnya harus dilaksanakan pada 2020.

Mungkinkah Pilkades serentak untuk enam Desa ini dilaksanakan pada 2020, menyesuaikan dengan berakhirnya masa jabatan Penggugat sebagai Kades pada 2019?.

Dijelaskan dalam Peraturan Perundang-Undangan, bahwa pelaksanaan Pilkades serentak, pengelompokan Desa-Desa yang akan melaksanakan Pilkades serentak, harus mempertimbangkan aspek keuangan daerah, dan harus mempertimbangkan aspek ketersediaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang akan mengisi jabatan sebagai Penjabat Kades, bila terdapat Kades yang masa jabatannya telah berakhir, dan belum melaksanakan Pilkades.

“Kalau enam desa (penggugat sebagai kadesnya) ini dimasukan dalam Pilkades serentak tahun 2020, katakanlah masa jabatan kadesnya ada yang berakhir maret, atau berakhir juli, sekarang kita hitung, juli berakhirnya masa jabatan sampai nanti bulan september 2020 pelaksanaan pilkades serentak, bukankah terdapat waktu satu tahun lebih. Berarti diposisi setahun lebih ini, harus diangkat penjabat kades dari kalangan pns, ini tentu akan menimbulkan tambahan-tambahan biaya lagi yang harus diadakan oleh pemda, karena harus mengangkat penjabat kades dari kalangan pns,” urainya.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton tidak cukup mampu untuk menganggarkan dana untuk pengangkatan Penjabat Kades, dan penempatan PNS untuk menduduki kosongnya jabatan Kades tersebut. Sehingga Pemkab Buton mempertimbangkan , untuk efektivitas, dan efeisiensi, keenam Desa tersebut diikut sertakan dalam Pilkades serentak 2018.

Rumusannya kata dia, bila diikut sertakan dalam Pilkades serentak 2018, maka Kades yang menggugat sekarang ini tidak perlu mengundurkan diri, melainkan hanya mengajukan cuti. Kemudian, setelah ada Kades terpilih, maka Kades yang cuti melanjutkan kembali jabatannya. Begitu berakhir masa jabatannya sebagai Kades, maka dilantiklah Kades baru. Atau kalau dia (Kades yang cuti) tersebut menang, maka dia dilantik kembali sebagai Kades terpilih. Dengan begitu, tak perlu diangkat Penjabat Kades.

Inilah kata Munsir yang disebut dengan Pilkades serentak. Semua berpikir tentang efisiensi, efektivitas, penghematan keuangan daerah, tanpa merugikan siapapun. Munsir kembali menegaskan, uraian diatas menyangkut regulasi, aturan, dasar hukum, penjelasan Bupati Buton mengelompokkan enam Desa tersebut dalam Pilkades serentak 2018.

Mengapa ada pelantikan Kades Desember 2018?

Munsir mengatakan, Penggugat khawatir ada pelantikan Kades terpilih pada Desember 2018, atas hasil Pilkades serentak 2018. Alasan kekhawatiran Penggugat itu, karena sisa masa jabatan mereka (Penggugat) sebagai Kades, berakhir tahun 2019. Menurut Munsir, alasan Penggugat mengada-ada. Penggugat keliru menafsirkan, bahwa memang dalam Pilkades serentak 2018 ada tahapan pelantikan dibulan Desember, tetapi pelantikan dimaksud ditujukan untuk Desa-Desa yang masa jabatan Kadesnya telah berakhir. Sedangkan Desa-Desa yang masa jabatan Kadesnya belum berakhir, belum dilantik pada Desember 2018, melainkan akan dilantik pada 2019.

Bila tahapan pelantikan Kades terpilih pada Desember 2018 tersebut ditiadakan, bagaimana dengan Desa-Desa yang jabatan Kadesnya telah berakhir pada 2018. Atas dasar itulah, tahapan pelantikan Kades terpilih dalam Pilkades serentak 2018 harus tercantum dalam SK Bupati Buton nomor 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak tertanggal 11 Mei 2018.

Demi menjamin kepastian hukum bagi Desa-Desa lainnya, bahwa Kadesnya yang terpilih dalam Pilkades serentak 2018 akan dilantik. Dan bagi Kades yang belum berakhir masa jabatannya pada 2018, yang ikut dalam Pilkades serentak 2018, dan terpilih kembali, juga dijamin kepastian hukumnya. Dia akan dilantik setelah masa jabatannya sebagai Kades berakhir.

“Faktanya, apa yang menjadi kekhawatiran ini terbukti. Kami sudah ajukan bukti SK yang enam Desa ini belum dilantik Kadesnya, nanti berakhir masa jabatan Kadesnya pada 2019 baru kemudian dilakukan pelantikan Kades yang terpilih dalam Pilkades 2018. Kami sudah ajukan dalam sidang, hanya saja Majelis Hakim tidak mempertimbangkan bukti yang kami perlihatkan itu. Entah dari sisi mana pandangan hukumnya, itulah yang menjadi kebingungan kami,” urainya.

Ini juga diperkuat dengan keterangan saksi Sekretaris Camat Wolowa, yang memastikan bahwa tidak ada pelantikan Kades terpilih hasil Pilkades serentak 2018 di Kecamatan Wolowa, khususnya Desa yang masa jabatan Kadesnya berakhir ditahun 2019. Termasuk di Desa para Penggugat, tidak dilakukan pelantikan Kades terpilih hasil Pilkades 2018, tetapi akan dilantik pada 2019, setelah masa jabatan Kades di Desa tersebut berakhir sesuai dengan SK Kades yang bersangkutan.

Kerugian Materil dan Immateril Tidak terbukti

Dengan adanya obyek sengketa ini (SK Bupati Buton nomor 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang melaksanakan Pilkades serentak tertanggal 11 Mei 2018), Penggugat mengklaim mengalami kerugian materil dan kerugian immateril, berupa kehilangan hak, kehilangan honor.

Munsir membeberkan, dalam materi gugatan Penggugat, tak satupun narasi yang menggambarkan bahwa Penggugat juga ikut menjadi calon Kades dalam Pilkades serentak 2018 ini. Dalam Petitum Penggugat tak menjelaskan bahwa para Penggugat adalah calon Kades yang kalah, tidak terpilih dalam Pilkades serentak 2018 di Desanya masing-masing.

Munsir bahkan menyebut Penggugat telah mengelabui Majelis Hakim, dengan tidak memasukkan status mereka kala itu sebagai salah satu kontestan calon Kades dalam Pilkades serentak 2018, calon Kades yang tidak terpilih.

“Dalam eksepsi saya masukan tentang itu (Penggugat calon kades yang tidak terpilih dalam pilkades serentak 2018), tapi mungkin cara pandang majelis hakim yang kurang tepat mencermati soal penggugat adalah calon kades dan kalah dalam pilkades. Saya pertanyakan kepada saksi, apakah keenam kades yang menggugat ini menjadi calon Kades juga, dijawab iya mereka calon kades juga. Mereka pernah cuti?, dijawab oleh saksi, mereka pernah cuti. Mereka pernah bertanda tangan fakta integritas siap kalah siap menang?, saksipun membenarkan mereka menanda tangani fakta integritas tersebut. Apakah ketika terbit obyek sengketa SK 225 ini mereka mengajukan keberatan?, saksi mengatakan bahwa Penggugat tidak mengajukan keberatan,” kata Munsir, mengungkap keterangan saksi saat persidangan.

Membantah klaim kerugian materil yang dialami Penggugat, Munsir menghadirkan saksi bendahara untuk memastikan Penggugat masih tetap mendapatkan hak-haknya atau tidak. Saksi menyatakan Penggugat masih menerima gaji Rp 4juta setiap bulannya. Ini dibuktikan dengan siltap (penghasilan tetap) dari bulan Agustus sampai September 2018.

“Sekarang hak apa yang tidak terpenuhi. Oleh sebab itu dalil yang menyatakan bahwa mereka mengalami kerugian materil itu tidak terbukti, karena mereka sampai sekarang masih menjabat sebagai Kades, dan masih menerima honor,” bebernya.

Terkait klaim kerugian immateril, Munsir berpandangan, defenisi atau pemaknaan kerugian immateril ini terlebih dahulu harus dijabarkan. Menurutnya, kerugian inmateril yang dialami Penggugat adalah karena Penggugat kalah dalam Pilkades.

Munsir menegaskan, Penggugat tak mengalami kerugian immateril, karena Penggugat juga diterima mendaftar sebagai calon Kades, Penggugat juga ditetapkan sebagai calon Kades, dan mereka ikut Pilkades serentak 2018. Ditambah pula, mereka ikut menghitung hasil pemungutan suara, namun faktanya mereka kalah.

“Jadi kerugian yang saya tangkap disini hanya karena mereka kalah, tetapi kekalahan itu tidak bisa ditafsir karena keluarnya obyek sengketa SK 225. Jadi kekalahan itu karena tidak dicintainya lagi mereka oleh para voter di Desa masing-masing,” ucapnya.

Pertimbangan Majelis Hakim, lanjut Munsir, kerugian bukan hanya kerugian materil, tetapi juga menyangkut kerugian immateril. Menurutnya, penjabaran tentang kerugian immateril dalam persidangan masih ambigu, tidak ada,”immaterilnya apa, dia mendaftar juga, dia menjadi calon juga. Sekarang pertanyaannya, ketika para penggugat menang dalam Pilkades apakah tetap akan menggugat?, tentu tidak kan?. Karena faktanya di Desa Wolowa Kades baru itu berakhir masa jabatannya ditahun 2019 juga, tetapi dia tidak menggugat karena menang,” sambungnya.

Menggugat Karena Kalah

Munsir menilai, Penggugat melayangkan gugatan karena kalah dalam Pilkades serentak 2018, bukan karena SK Bupati Buton nomor 225 tahun 2018 tentang penetapan waktu pelaksanaan dan Desa yang akan melaksanakan Pilkades serentak tertanggal 11 Mei 2018 cacat hukum, atau tidak prosedural. Jadi menggugat karena mereka tidak terpilih sebagai Kades di Desanya. Dia juga menuding, enam Kepala Desa Penggugat ini hanya mencari-cari kesalahan Bupati Buton, padahal dalam menjalankan tugas sebagai Kades, dalam penggunaan Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), mereka (para Penggugat) ini belum tentu tanpa kesalahan, tanpa pelanggaran.

~ Vonizz report ~

Komentar