Buton
Kiprah Kejaksaan Negeri Buton dalam memberantas tindak pidana korupsi sudah tidak diragukan lagi, dibawah kepemimpinan Ledrik Victor Mesak Takaendengan SH MH, didukung jajarannya yang bekerja profesional dan penuh integritas, telah berhasil menyelamatkan hampir Rp5 Miliar uang negara hasil rasuah.
Ditemui beberapa waktu lalu, Ledrik menyinggung tentang kebijakan Jaksa Agung Prof ST Burhanuddin melalui Jaksa Agung Muda-Intelijen, bahwa khusus untuk penanganan kasus terkait dana desa, tidak boleh dilakukan secara represif. Melainkan harus mengedepankan upaya pencegahan, preventif.
“Saya sering bilang diawal, kenapa saya bikin La Jada (Layanan Adhyaksa Jaga Desa), karena memang kepala desa tidak dilatih untuk kelola keuangan yang baik. Dia tidak punya keahlian, dia karena ketokohan dipilih oleh masyarakat, urusan pegang (Pengelolaan/Penggunaan) uang dia tidak tau,” ujarnya.
Ledrik mengatakan, kepala desa dipilih masyarakat karena ketokohan, karena dinilai berbuat baik di daerahnya, atau tokoh dari sisi agama, atau penilaian positif lainnya. Hal inilah, sehingga setiap Satuan Kerja diminta untuk tidak terburu-buru menetapkan Tersangka, dalam penanganan perkara menyangkut dana desa.
Meskipun terindikasi terjadi kerugian negara, dan perbuatan melawan hukum, namun menurut Ledrik, fokus utamanya adalah pada pemulihan.
“Oke betul ada melawan hukumnya, ada kerugian negaranya, udah kita ditahapan awal kita undang, selesaikan dulu aja, selesai tutup. Karena bisa saja ketika itu, dampak di daerah gejolak kan, percuma kita penjarakan mereka,” terangnya.
Oleh karena itu pula, untuk perkara Tipikor, pihaknya lebih mengutamakan perkara yang berbobot, dalam artian, menyangkut nilai ekonomis yang memang berdampak pada masyarakat luas. Misal yang terjadi nilai kerugian negara cukup besar.
Di desa juga, lanjut Ledrik, terkadang karena persaingan dalam pemilihan Kades, berujung pada saling lapor. Polanya, Calon Kades A kalah dalam Pilkades, kemudian melaporkan Calon Kades B.
“Jadi begitu, susah, begitu polanya. Coba kalau dia menang, pasti dia nggak lapor, tapi karena dia kalah, dia lapor yang menang,” bebernya.
Karena itu, kata Ledrik, diharapkan untuk penanganan perkara, harus berhati-hati. Sedapat mungkin, tidak sampai pada penetapan Tersangka.
Kecuali, lanjut Ledrik, proyek fiktif, dengan sengaja dibuat fiktif, dan tidak punya itikad baik untuk membayar pengembalian,”Apa boleh buat. Tapi saya yakin itu akan kecil sekali persentasinya,” ungkapnya.
Kata Peraih penghargaan Tokoh Inovatif Penegakkan Hukum “Tokoh Inovatif dan Inspiratif Sultra 2022, Sultra Award Kendari Pos” ini, ia terus mendorong penerapan pidana sebagai ultimum remedium. Dengan menggagas program La Jada.
Selain para kepala desa dan dana desa, Kejari Buton juga fokus pada guru dan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS). Dengan menggagas program Wa Saru.
“Kepala sekolah dikasi anggaran, pegang dana BOS, dikasi dana swakelola, dia ngerti apa, toh ujung-ujungnya yang kerja juga kontraktor. Dia nggak ngerti apa-apa, ujung-ujungnya dia dipenjarakan. Gak bisa dong, gak fair dong. Taunya dia cuma mengajar, bikin kurikulum, segala macamlah,” urainya.
Bagi Ledrik, penanganan terhadap para kepala sekolah dan guru ini juga harus disamakan dengan penanganan kepalda desa. Dimana Pidana adalah upaya terakhir, dan lebih mendorong agar supaya ada pengembalian, pemulihan keuangan negara tercapai.
Menurutnya, dengan memenjarakan apakah bicara tentang keadilan?, kemanfaatan apa yang didapatkan ketika memenjarakan seorang guru?. Justru mencederai nama guru, bila banyak guru dipidana, orang semakin antipati terhadap profesi guru itu sendiri.
Akhirnya citra guru menjadi hancur didepan murid, bahkan didepan masyarakat. Orang tidak hormati guru lagi, maka kualitas Pendidikan pasti menurun.
“Yah kalau murid sudah tidak respek terhadap gurunya lagi, apapun yang diajarkan tidak masuk,” pungkasnya. (Red)
Baca juga ⬇️
Komentar