Catatan LM Irfan Mihzan
Pendiri – Pemred Kasamea.com
Pemilu Pileg-Pilpres telah usai, usaha para politisi, parpol, dalam meraup suara, tak mengkhianati hasil. Tentu ada yang tampil sebagai pemenang, dan ada pula yang hanya bisa gigit jari, menelan pahitnya pil kekalahan.
Terkhusus Pileg kali ini, masih sama seperti Pileg lima tahun yang lalu, santer tersiar kabar, bahwa betapa money politik merajai helat kontestasi. Upaya personal branding, pencitraan figur, isu positif nan populis yang dibangun para caleg, berujung pada berapa serangan fajar yang dieksekusi bagi wajib pilih.
Nyaris tak ada perolehan suara yang gratis, terkecuali bagi para pemilik hak pilih yang masih menyisakan sedikit ruang idealisme dihati nuraninya, yang tidak mau disogok, apalagi suaranya dibeli dengan rupiah.
Money politik berbanding lurus dengan kondisi perekonomian masyarakat yang menurun bahkan cenderung kian melemah, sehingga watak tangan dibawah seolah menjadi tren ditengah masyarakat. Maunya dapat uang untuk saat ini dahulu, menyangkut kinerja atau realisasi janji politik itu nantilah, belakangan.
Serangan fajar bukan merupakan aib atau hal tabu lagi, bahkan seolah sudah membudaya. Dan ironisnya, aturan perundang-undangan seakan hanya kumpulan baid per baid untaian kalimat, pemanis formalitas semata. Kebanyakan orang sangat permisif menerima fenomena money politik, dan seakan tak peduli lagi soal etika, moralitas, yang seharusnya dijunjung tinggi dalam berdemokrasi.
Rupanya jauh panggang dari api, bila mengharapkan demokrasi harum mewangi terbingkai jargon langsung umum bebas dan rahasia, tanpa money politik. Demokrasi saat ini tak ubahnya democrazzy berbau bangkai.
Jelang Pilkada November 2024, diprediksi kuat bahwa money politik masih akan tetap mengemuka. Modal yang dikantongi figur Cakada bukan hanya popularitas, kapabilitas, kompetensi, kapasitas, akseptabilitas, juga elektabilitas. Bukan saja aset sosial, melainkan juga aset finansial alias isi tas, yang menjadi tolak ukur kesiapan figur Cakada mumpuni, dan berpotensi akan memenangkan kompetisi.
Tanpa aset finansial yang memadai, jangan berharap banyak sang figur bakal menang. Sebab eksekusi terakhir dari berbagai embel-embel sekunder Pilkada, adalah serangan fajar, sogok atau suap kepada wajib pilih pemilik hak suara.
Beginilah realitas saat ini, cost politik sangat tinggi, mulai dari biaya untuk meningkatkan popularitas, elektabilitas, sampai pada pengurusan partai politik pengusung, semua ada maharnya, pun partai politik pendukung.
Salah satu isu tak sedap yang mewarnai perhelatan Pilkada Bupati/Walikota, yakni, satu kursi parpol pengusung seharga Rp750 juta sampai Rp1 miliar. Ada kenaikan bila dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya, dikisaran Rp250 juta sampai Rp500 juta per kursi.
Belum lagi untuk menciptakan dan menyolidkan basis pendukung. Begitu pula bila hendak menggerakkan simpul relawan/loyalis yang tersebar di seluruh desa/kelurahan. Bukan main bahan bakar mesin politik yang dibutuhkan, kalau tidak siap tidak bakalan sampai finish, alias mogok ditengah jalan.
Money politik sudah tidak ketulungan lagi prakteknya, bahkan dia menjadi hal paling dinantikan masyarakat wajib pilih. Ada istilah berkembang, “No duit no coblos”.
Saat ini memang banyak nama figur yang coba dihembuskan ke publik, apakah mereka yang hanya coba-coba, atau paling tidak mencoba peruntungan bisa dilirik menjadi Wakil nantinya. Sebagian besar diantaranya, hanya sebatas isu hampa, spekulasi belaka. Sebab mereka tidak memiliki standar atau tolak ukur yang jelas untuk tampil sebagai Cakada, apalagi sampai bisa memenangkan Pilkada.
Mau dibolak balik bagaimanapun, kaki di kepala atau kepala di kaki, strategi para figur, sebesar apapun penerimaan atau keterpilihan figur dalam hitungan polling atau lembaga survey kredibel, tetap money politik menempati posisi strategis teratas, bila ingin tampil sebagai the winner.
Jadi, figur yang tidak mumpuni, silahkan undur diri, atau sebaiknya tak perlu unjuk diri.
Bila kita semua, atau paling tidak mayoritas kita bersepakat untuk meniadakan praktek money politik, perlu kiranya mendorong agar para Cakada membuat perjanjian atau nota kesepahaman bersama, untuk tidak ber-money politik, tidak menggunakan politik uang sebagai instrumen pemenangan.
Kesepakatan tanpa money politik diantara para figur Cakada ini juga bisa menandai titik balik, atau paling tidak sebagai awal yang mencerahkan, bahwa para figur Cakada bukan dipilih karena sogok atau suap. Sehingga mereka menang terhormat, dan menjadi kepala daerah yang memiliki legitimasi sangat kuat, benar-benar murni dipilih karena ketokohannya mumpuni secara kapabilitas, kompetensi, kapasitas, akseptabilitas, juga elektabilitas.
Wallahualam bishawab. (La MIM)
Komentar