Helat Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Baubau V dan Tantangan Daerah Kedepan

Penulis: Andy Arya Maulana Wijaya
Akademisi UM Buton, Kader Muhammadiyah

Beberapa waktu lalu, pada sebuah tugas isian online mahasiswa saya turut mencampurkan pertanyaan tentang pengetahuan mereka terkait gerakan Persyarikatan Muhammadiyah, khususnya yang mereka saksi dan alami sejak berkuliah. Hal ini sebagai upaya mengumpulkan opini mahasiswa pasca perayaan Lebaran Idul fitri yang berbeda dengan pemerintah.

Hasil sepertinya mudah tertebak, pengetahuan sebagian besar mahasiswa yang saya ikutkan dalam tes ini menjawab bahwa Muhammadiyah identik dengan perbedaan dalam menentukan lebaran dengan pemerintah. Meski pada pertanyaan lainnya yang merujuk pada pemahaman gerakan Muhammadiyah juga menjadi pilihan, namun belum begitu merepresentasikan tingkat pemahaman mereka.

Jawaban seperti ini juga mengingatkan saya pada penelitian tahun 2021 lalu (Citra Publik Muhammadiyah di Masyarakat Buton), yang juga mendapati opini masyarakat terhadap Muhammadiyah pada tiga indikator pilihan yakni ormas terbesar, identik dengan lembaga pendidikannya, dan tentu saja memiliki metode yang berbeda dalam beberapa hal yang lazim dilakukan masyarakat khususnya di Kota Baubau.

Padahal peran Muhammadiyah jauh lebih luas dari itu, tapi fakta ini terbangun dari pengalaman masyarakat pada realitas sosial yang lazim dan paling sering mereka lihat dan alami. Tidak jarang pula, dalam kontek Kota Baubau misalnya bias pemahaman masyarakat dan peran muhammadiyah masih terus terjadi. Muhammadiyah masih dipandang sebagai organisasi keagamaan semata, sehingga turut membangun sempitnya citra publik atas peran lain dari organisasi ini.

Catatan ini tentu perlu menjadi sarana evaluatif bagi pergerakan Muhammadiyah di Kota Baubau, dimana pada tanggal 28 Mei 2023 mendatang akan melaksanakan Musyawarah Daerah V. Dengan linearitas waktu yang telah dilewatinya, organisasi ini idealnya telah memiliki pondasi yang cukup untuk merepresentasikan dirinya sebagai bagian inheren bagi bangunan sosial kemasyarakatan di Kota pemilik benteng terluas di Dunia ini.

Disisi lain, Musyda yang dipahami sebagai wadah pergantian kepemimpinan dan momen evaluatif atas pergerakan organisasi, juga dapat dijadikan arena untuk menumbuhkan diskursus membangun rencana program berbasis tantangan daerah kedepan. Dalam tulisan ini, saya berusaha mengumpulkan beberapa fakta yang lekat dengan tujuan Persyarikatan yang kiranya perlu didiskusikan guna memberikan kontribusi akademis pada helatan musyda Muhammadiyah Kota Baubau V nanti.

Issue Intoleransi Pasca pelaksanaan Lebaran Idul Fitri 1444 H yang lalu khususnya di Kota Baubau, semakin menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai berbeda. Meski kita harus akui bahwa masyarakat yang mengikuti keputusan Muhammadiyah di Kota Baubau dua tahun terakhir ini terus bertambah. Akan tetapi, sebagai warga Muhammadiyah masih saja kita akrab mendengar pertanyaan “kamu Lebaran kemarin, Jumat?”, “berarti kamu Lebaran dua hari dih?”.

Meski pertanyaan seperti ini layaknya guyonan, namun dalam konteks kohesi sosial ini menggambarkan tebalnya garis pembeda di masyarakat kita dengan apa yang menjadi keputusan Muhammadiyah. Akan tetapi, dari fakta ini menjadi peluang bagi kita memiliki arena untuk memperkenalkan pergerakan Muhammadiyah dengan masyarakat kita.

Namun perbedaan seperti itu memang perlu menjadi catatan organisasi ini dalam musyda nanti. Pada awal April 2023, SETARA Institute merilis Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 untuk 94 Kota seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil IKT tersebut Kota Baubau berada pada posisi 80 atau posisi ke-16 dari Kota yang memiliki skor terendah, dan masih lebih rendah dari Kota Kendari yang menempati pada posisi 65 untuk Provinsi Sulawesi Tenggara.

Skor terendah dari capaian IKT tersebut berada pada indikator heterogenitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan. Tentu, dengan masih seringnya ditemukan bias pemaknaan Muhammadiyah di masyarakat kita, perlu menjadi agenda mendatang Muhammadiyah untuk mewujudkan eksistensinya di kehidupan sosial kemasyarakatan.

Saat ini, Muhammadiyah sebagai representasi pilar pendidikan tinggi di Kota yang menisbatkan dirinya sebagai kota jasa dan perdagangan telah terpampang jelas, hanya saja masih nampak kabur pada gerakan sosial, pemberdayaan, dan pembelaan serta advokasinya pada kaum minoritas. Dengan begitu, ini dapat menjadi agenda organisasi kedepan, oleh semua elemen Persyarikatan Muhammadiyah mulai dari organisasi otonom hingga amal usahanya.

Membangun Citra yang Kosmopolite
Meminjam istilah yang digunakan oleh Najib Burhani untuk merekonstruksi gerakan berkemajuan dari Muhammadiyah di masa yang akan datang, Kosmopolitanisme perlu menjadi perhatian bahkan bagi gerakan di daerah. Kosmopolite yang digambarkan dengan kemampuan organisasi untuk membangun dialog dengan organisasi lainnya, menjadi indikator sebuah organisasi berkemajuan yang dapat berkelanjutan.

Muhammadiyah dengan perangkat ORTOM dan AUM di Kota Khalifatul Khamis ini, telah memiliki reputasi dan modal sosial yang cukup untuk memulai dialog yang setara dan saling menguntungkan. Dengan begitu, Muhammadiyah dapat dengan lebih mudah dipahami dan diterima sebagai bagian dari realitas sosial di Kota Baubau. Oleh karenanya, sejumlah misi pergerakan Muhammadiyah dapat menjadi lebih mudah dijalankan.

Permasalah sosial yang masih menjadi tantangan bagi agenda kebijakan pemerintah daerah Kota Baubau, khususnya seputar penurunan persentase angka kemiskinan, pemberdayaan perempuan dan menurunkan angka stunting di masyarakat menjadi arena gerakan pendidikan sekaligus gerakan sosial Muhammadiyah. Pemberdayaan melalui ORTOM LAZISMU dan kontribusi akademik melalui AUM Universitas Muhammadiyah Buton, dapat menjadi alternatif gerakan yang dapat ditempuh dan didialogkan lebih lanjut.

Politik Pemikiran
Muhammadiyah menempatkan dirinya untuk tetap independen dari partai politik maupun terlibat langsung dengan politik praktis. Hanya saja, perlu diakui bahwa kader Muhammadiyah akan tetap bersisian dengan politik langsung maupun tidak langsung. Saya seringkali mengamati kondisi ini, politik lokal menjadi arena diskusi yang ramai oleh kader. Hanya saja, kadang kala mereka belum mampu mengambil posisi jelas pada arena ini.

Padahal, modalitas politik organisasi ini bisa ikut mempengaruhi kebijakan publik di daerah, lalu menjalankan agenda gerakan sosial yang memberdayakan. Saya teringat dengan pesan Buya Syafii Maarif (2008), bahwa Muhammadiyah tidak mesti harus berurutan dari persoalan Persyarikatan, keumatan dan kemudian kebangsaan. Namun, Muhammadiyah harus bisa menggeser gerakannya pada kehidupan kemanusiaan yang semakin kompleks. Oleh sebab itu, Muhammadiyah mesti hadir sebagai gerakan Islam berkemajuan yang kosmopolitan hingga tingkat lokal.

Maka, tidak keliru kiranya Muhammadiyah bisa menjadi bagian dari gerakan politik pemikiran dengan mendukung dan mempersiapkan kader terbaiknya untuk turut berkiprah di daerah. Hal ini tentu bisa dilihat pada ragam perspektif, baik sebagai praktisi kebijakan secara langsung atau sebagai penyeimbang arena kuasa daerah yang seringkali begitu timpang.

Karenanya, Muhammadiyah secara khusus di Kota Baubau perlu mengetahui kompleksitas kemasyarakatan yang relevan untuk dipertimbangkan menjadi agenda pada Musyawarah Daerah Muhammadiyah kedepan. Pada titik ini juga, dapat menjadi urun gagasan dari para kader untuk menemukan kembali dan reformulasi identitas dirinya. Hal ini ditulis dengan apik oleh Ahmad Fuad Fanani (2017) bahwa kader Muhammadiyah untuk dapat mengambil peran-peran peradaban, memajukan pendidikan, meningkatkan kapasitas kesehatan, melawan kemiskinan, memberdayakan kaum Mustadh’afin, meneguhkan peran politik dan istiqamah dalam kerja kemanusiaan.

Akhirnya, penulis sebagai kader turut mengucapkan selamat Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Baubau. Mari semarakkan kerja-kerja ini, untuk memajukan Muhammadiyah dan mencerahkan Kota Baubau.

Komentar