KNP3-Kepton: Syarat Provinsi Kepton Belum Tuntas, Refleksi Perjalanan Panjangnya

BAU-BAU

Berbagai elemen masyarakat terus berupaya mendorong agar Daerah Otonomi Baru (DOB) bernama Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) itu dapat segera lahir (analoginya: apakah proses kelahirannya normal atau dengan cara sesar). Perlu pula merefleksi perjalanan panjang usulan pemekaran Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), pembentukan Provinsi Kepton, karena tak ada kata berhenti.

Dalam konferensi pers, Sabtu (25/1/20) malam, Ketua Presidium Komite Nasional Percepatan Pembentukan Provinsi Kepton (KNP3-Kepton) Drs Alimudin MSi merefleksikan perjalanan panjang usulan pembentukan DOB yang hingga kini tak kunjung terwujud.

Dihadapan insan Pers yang hadir, Alimudin memulai dengan menyinggung, kehadiran KNP3-Kepton bersama Sultan Buton H LM Izat Manarfa dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu. Dalam RDPU tersebut juga hadir Wakil Wali Kota Bau-Bau, Wakil Bupati Buton, bersama tokoh-tokoh masyarakat Kepton. RDPU, Komisi II DPR RI mendengarkan dan merespon uraian penjelasan tentang usulan pembentukan Kepton. Komisi II DPR RI berjanji menindaklanjuti aspirasi, yang disampaikan secara lisan, juga dalam bentuk dokumen naskah akademik dan usulan rancangan undang-undang tentang pembentukan Provinsi Kepton.

Alimudin dalam konferensi pers didampingi beberapa Presidium KNP3-Kepton, mengingatkan, yang kini harus menjadi perhatian bersama, salahsatunya, bahwa usulan pembentukan Provinsi Kepton belum tuntas, alias belum terpenuhinya seluruh persyaratan sebagaimana dipersyaratkan Peraturan Perundang-undangan.

Diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998, Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 20014, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.

Refleksi Usulan Pembentukan DOB Provinsi Pemekaram Provinsi Sultra

Perlu diketahui, tak hanya oleh masyarakat Kepton sebagai spirit, motivasi, serta optimisme perjuangan pemekaran, namun juga oleh Pemerintah Pusat, bahwa keingingan Buton untuk berdiri sebagai sebuah daerah otonomi baru, sebuah Provinsi, sudah ada jauh sejak masa Kesultanan, puluhan tahun lalu, era Sultan ke 38 La Ode Muhammad Falihi.

Marwah pemekaran kata Alimudin, sesungguhnya adalah inspirasi / keinginan para tokoh masa lalu, para pendahulu Buton, diawal berdirinya Bangsa Indonesia.

Alimudin mengungkapkan, pada 1946 (antara bulan Juni atau bulan Juli), Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi diundang untuk menghadiri Konferensi Malino, saat itu digagas Negara Serikat. Hingga berakhir Konferensi tersebut, Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi menolak menandatangani dokumen hasil Konferensi Malino tersebut. Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi menolak karena tidak menginginkan ternodainya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Waktu berjalan, pada 1950, Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi bersama tiga Raja, yaitu Raja Luwuk, Raja Goa, dan Raja Bone bertemu Presiden Soekarno di Istana Negara. Pertemuan ini berbuah kesepakatan, bahwa Kesultanan Buton bersama Kerajaan Luwuk, Kerajaan Goa dan Kerajaan Bone, mendapatkan haknya dalam NKRI. Artinya, keempat para yang Mulia ini menyepakati tetap menjadi daerah otonom dalam bingkai NKRI.

Akan tetapi, setelah kesepakatan 1950 ini, pada 1952 diberlakukan Undang-Undang Swatantra, dan salah satu Kabupaten yang berdiri atas berlakunya Undang-Undang Swatantra saat itu, adalah Kabupaten Sulawesi Tenggara, yang berkedudukan di Bau-Bau. Maka dengan sendirinya, Pemerintahan yang ada, berbentuk Swatantra kala itu Kabupaten Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Bau-Bau, wilayahnya meliputi wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara saat ini.

Berlanjut kisah, pada 1953 Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi kembali menyampaikan keinginannya, agar Buton tetap diakui sebagai daerah otonom tersendiri dalam bingkai NKRI. Keinginan ini belum juga mendapat respon Pemerintah Pusat, sampai pada 1957 Swapraja dinyatakan bubar, dan pada 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat daerah otonom, meliputi Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari, dan Kabupaten Kolaka.

Pada 1960, terbit TAP MPRS RI tentang pembentukan daerah swatantra untuk daerah tingkat I. Maka, berdasarkan TAP MPRS tersebut, terbentuklah dua panitia dalam rangka memperjuangkan pembentukan kawasan Provinsi di daerah Sulawesi Tenggara.

Yang pertama, lahir panitia pembentukan Provinsi Sulawesi Timur, dipimpin La Ode Manarfa (putera La Ode Muhammad Falihi), dan kemudian lahir panitia pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara, dipimpin Yacob Silondae melalui persatuan masyarakat Sulawesi Tenggara.

Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi wafat pada 1960, Almarhum tidak bisa melihat kelanjutan hingga akhir perjuangan pembentukan sebuah daerah otonom Provinsi di wilayah eks Kesultanan Buton.

“Hingga empat tahun kemudian (1964), dari kedua Panitia yang berjalan ini, yang berhasil sampai ke finish adalah panitia pembentukan Provonsi Sulawesi Tenggara, yang melahirkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964,” urai Alimudin.

“Sejak 1964 kita bersama sama dengan Sultra, suka dukanya Sultan Buton ikhlas menyerahkan wilayahnya, baik untuk mencukupi wilayah Kabupaten lain, juga untuk bisa menjadi daerah otonom, sebagai prasyarat untuk menjadi sebuah Provinsi Sultra,” tutur Alimudin.

ROH Perjuangan

Alimudin menegaskan, inspirasi inilah yang menjadi roh perjuangan kaum muda, dan pada 1996 Himpunan Mahasiswa Pelajar Buton menggaungkan Provinsi Buton Raya.

Alimudin melanjutkan, baru pada 1999, konsep pembentukan Provinsi Buton Raya ini dibawa ke Bau-Bau, yang kemudian menjadi cikal bakal adanya front partai politik kala itu.

Saat itu, front partai politik ini salah satu misinya adalah melahirkan Provinsi Buton Raya, dipimpin La Ode Halaka Manarfa, dan Sekretaris Yunus Andi Nontji.

“Mereka jugalah yang memfasilitasi sekian puluh Parpol menandatangani lahirnya Bau-Bau menjadi sebuah darerah otonomi baru,” tambahnya.

Alimudin menuturkan, pergerakan terus berjalan sampai pada 2002, adanya tim 9 (sembilan) yang dipimpin La Ode Kaimuddin, untuk melahirkan Provinsi Sultra Kepulauan.

“Salah seorang tokoh tim 9 yang masih hidup hingga saat ini adalah LM Izat Manarfa,” sebutnya.

Alimudin mengatakan, dalam pergerakan pada 2002 ini muncul gerakan Pemuda, ditandai dengan lahirnya Angkatan Muda Buton (AMB). Menurut Alimudin, AMB inilah yang kemudian meneruskan proses usulan Provinsi Buton Raya, dan saat itu AMB bertemu dengan dua pimpinan daerah, yakni Wali Kota Bau-Bau Amirul Tamim, dan Bupati Buton LM Sjafei Kahar.

Kemudian dideklarasikanlah KMP3 (Komite Masyarakat Percepatan Pembentukan Provinsi) dan sebagai Ketuanya LM Sjafei Kahar. KMP3 inilah yang membawa persyaratan administrasi usulan pembentukan Provinsi Buton Raya, persyaratan tersebut dibawa ke Kementerian Dalam Negeri, DPR RI, dan DPD RI. Prosesnya saat itu sampai pada 2004.

“Sebelumnya, tahun 1999 itu ada dokumen juga yang dibawa pak Halaka, yang berhubungan dengan usulan pembentukan Provinsi Buton Raya,” kata Alimudin.

Diera Bupati Buton LM Sjafei Kahar, KMP3 juga membawa dokumen yang sama berkaitan dengan usulan pembentukan Provinsi Buton Raya.

“Tahun 2014 mekar Buton Selatan dan Buton Tengah. Dan waktu itu ketika ada musyawarah daerah KNPI Kota Bau-Bau yang terpilih Ketuanya Mamnun Laidu. Saat itu kita berharap banyak pada anak muda ini, untuk bisa membawa ide besar pembentukan Provinsi Buton Raya, sehingga kita membekap (back up) dia dan memberikan konsep. Salah satu konsep yang diberikan pada waktu itu adalah membentuk sekretariat bersama (Sekber), juga membentuk forum silaturahmi masyarakat nusantara. Semua konsep itu berjalan,” bebernya.

Pergerakan terus berlanjut, Alimudin lantas menyinggung pergantian nama Provinsi Buton Raya menjadi Provinsi Kepulauan Buton (Kepton). Hal ini terjadi, kata Alimudin, mengingat tantangan kedepan, diantaranya, bahwa Kepton adalah wilayah maritim, pembangunannya kedepan berporos pada daerah Kepulauan.

“Pada tahun 2015 kita juga pernah membentuk panitia percepatan provinsi Buton Raya, saat itu saya menjadi Ketua, dan Sekretaris Muhlis. Berjalan terus, bahwa sudah ada dokumen yang diserahkan dan menjadi penguatan dokumen baru, yang saat itu dilakoni teman-teman Sekber. Alhamdulillah persyaratan administrasi yang disyaratkan sebagian telah terpenuhi,” pungkasnya.

Melalui RDPU dengan Komisi II DPR RI, dan kepada Pemerintah Pusat, KNP3-Kepton meminta agar pembentukan Provinsi Kepton menjadi prioritas, sebab ini merupakan perjuangan kultural, dan catatan histori usulan Buton berdiri sebagai daerah otonom Provinsi sudah digagas dan diusulkan sejak masa Sultan Buton ke 38 La Ode Muhammad Falihi.

Sehingga sampai saat ini masyarakat Kepton menagih itu. Bukan mengemis.

[RED]

Komentar