Penulis: La Ode Sirlan SH Ketua Lembaga Aliansi Barisan Pemuda Kepton
Ketua Dewan Pembina Ariadi La Alu SE, Sekretaris La Fando Wanci SH.
Sebagai sebuah entitas tak habis-habisnya pembahasan politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum, menghiasi setiap rubrik pemberitaan, baik media on-line, tv, radio, dan surat kabar.
Saat ini kita berada pada masa transisi pemerintahan, dimana sebentar lagi kita akan menyongsong tahun politik yang biasa dinarasikan Pesta Demokrasi (Pemilu Legislatif, dan Eksekutif). Momentum ini akan banyak menyedot perhatian entitas masyarakat, dan semua elemen yang memiliki kepentingan, untuk bagaimana bisa merefleksikan sebuah kegelisahan melalui ide gagasan, serta visi misi, dimana semua itu lahir dari sebuah keinginan luhur “Nilai-nilai luhur” (Meminjam istilah Anas Urbaningrum).
Mindset (Paradigma) bahwa Pemilu dinilai hanya semata-mata pertarungan politis dan kepentingan para oligarki, serta upaya mendapatkan jabatan strategis, baik sebagai anggota DPR, DPRD, DPD, Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden. Wajar saja setiap pesta demokrasi selalu melahirkan sebuah gerakan tranformasi dan pemimpin yang berdaulat.
Akan tetapi peristiwa tersebut selalu bedampak, serta melahirkan sebuah opini yang harus didestruksi dengan merubah cara pandang, serta pemahaman pemilih, dengan melakukan sosialisasi berkesinambungan, yang bertujuan agar mengedukasi serta menumbuh kembangkan pikiran rasional, objektif, dan akuntabel.
Didalam totalitas kehidupan masyarakat, utamanya menyangkut pesta demokrasi, konflik kepentingan para kompetitor akan membuat sebagian masyarakat terbelah, yang pada akhirnya akan mereduksi nilai-nilai demokrasi.
Apa yang diungkapkan oleh Paul Tilich seorang filsuf dan teolog berkebangsaan Jerman “Ultimate Concern” atau perhatian utama terhadap nilai fundamental, semisal mempertahankan sebuah kepercayaan adalah sangatlah penting.
Kepercayaan disini adalah sebuah harapan agar kelak bilamana mendapatkan mandat oleh entitas masyarakat, agar pemimpin itu hakikatnya melayani, bukan dilayani. Seseorang yang mendapatkan mandat yang dipilih secara langsung – demokratis, hakikatnya pelayan dari mereka yang memilih, atau yang tidak memilih. Ia pelayan masyarakat yang jauh dari kemunafikan dan keserakahan.
Mengurai Serta Menganalisis Strategi Kepemimpinan
1.Bangunlah sebuah komunitas (jaringan yang kuat, rekrutlah mereka dengan memenuhi keinginannya;
2.Tanggung jawab semua (Pemimpin dan anak buah pastikan bisa dipegang);
3.Jangan cepat emosional, bekerjalah rasional;
4.Jadilah penentu, pastikan tim bekerja berdasarkan pilihan yang tepat, bikinlah tawaran yang tidak mungkin ditolak pesaing;
5.Sisikanlah waktu untuk keluarga, karena keluarga bisa memberikan suplemen kekuatan serta motivasi.
Mengutip kata Mauri Puzo “Even The Strongest Man Needs Friend”, sekuat apapun seseorang, tetap memerlukan teman. Tentu kita paham dan segera memahaminya, karena terkadang kawan lebih dekat dengan istri atau suami kita.
Mindset Pemimpin yang Baik atau Buruk Tegantung Dari Susut Pandang Seseorang
Dalam sebuah pertarungan politik ada sebuah istilah kawan dan lawan yang masing-masingnya punya subyektivitas kepentingan dalam kondisi tertentu, dimana satu sama lain akan menegasikan pemimpin dari pihak lawan, pastilah diklaim pemimpin yang jahat atau bahkan buruk. Sebaliknya pemimpin dari pihak kawan, akan diagungkan dalam situasi apapun.
Mengambil sebuah kisah dalam buku M Alfian “Wawasan Kepemimpinan Politik”, dikisahkan Salahuddin Ayyubi (1138-1193) ia dikenali sebagai pemimpin pasukan muslim dalam perang salib III. Salahuddin Ayyubi berasal dari suku Kurdi di Tikit (Irak Utara), yang berhasil mendirikan dinasti Ayubbiah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Mekkah Hejaz, dan Diya Barkit (Turki).
Tokoh ini terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena sifatnya yang kesatria, pengampun, dan justru melindas musuh-musuhnya.
Yang menonjol dari sikap Salahuddin ialah bagaimana mengedepankan aspek soft leadership, kecermatan yang tinggi, serta prinsip-prinsip persamaan.
Kembali pada momentum pesta demokrasi yang sebentar lagi akan dilaksanakan, disini diperlukan kedewasaan, serta peran seluruh entitas, sangat diharapkan, guna melahirkan pemimpin unggul, yang memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya.
Disini penulis melihat dari perspektif positif, betapa sangatlah besar animo masyarakat dalam berbagai macam bingkai disiplin keilmuan, yang tergiur terjun kedunia politik. Pemimpin yang tidak dilandasi oleh wawasan kepemimpinan yang mumpuni, yang pada akhirnya akan mereproduksi kembali gaya politik pencitraan”Bedak dan Gincu”.
Adalah tepat apa yang dikatakan oleh Dr J Leimena bahwa “Politik bukanlah tekhnik untuk berkuasa, tetapi politik adalah etika, untuk mengabdi bagi bangsa dan negara”. *11
Komentar