Kondisi meriam peninggalan era Kesultanan Buton saat diamankan ke markas Kodim 1413/Buton.
Baubau
Masih dalam suasana yang tertinggal dari viralnya meriam peninggalan era Kesultanan Buton, yang sempat menjadi fokus perhatian publik pekan ini. Tak hanya khalayak Kepulauan Buton (Kepton) yang mendiami metro Baubau, melainkan juga diaspora masyarakat Kepton yang tersebar di wilayah nusantara.
Meriam yang sebelumnya sempat diamankan untuk dirawat oleh Kodim 1413/Buton, karena dianggap terabaikan dan tak terawat, kini telah dikembalikan ke tempat semula saat diangkut/ dipindahkan ke markas Kodim 1413/Buton.
Timbul pertanyaan tentang asal muasal meriam-meriam benda cagar budaya itu hingga ada di Baubau.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Baubau, Masrun, menjelaskan bahwa secara keseluruhan keberadaan meriam di Kesultanan Buton, berasal dari rampasan perang, barter, jual beli, hadiah, juga rampe (Hukum adat Kesultanan Buton tentang kapal karam di perairan Kesultanan Buton).
Dahulu, lanjut Masrun, pemanfaatan meriam sebagai persenjataan/ pertahanan, upacara-upacara adat, keagamaan, dan simbol-simbol tertentu.
“Seperti sore 1 Ramadhan, sebagai penanda/pengumuman, masyarakat Wolio lebih dikenal dengan haroa tembaana bula. Sore menjelang Idul Fitri – Idul Adha, setelah selesai shalat Idul Fitri – Idul Adha, dan setelah selesai pelantikan Sultan Buton,” jelasnya.
Masrun menimpali, terakhir kali pendentuman meriam terjadi ditahun 1942, menjelang kedatangan pendudukan Jepang.
Lebih lanjut ia menerangkan, meriam-meriam yang saat ini telah menjadi benda cagar budaya, dilindungi negara sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang cagar budaya.
Sehingga diharapkan bagi masyarakat yang memiliki atau merawat benda cagar budaya, bisa melaporkannya ke pemerintah setempat. Melalui Lurah atau langsung ke kantor Disdikbud Baubau, ada tim pendaftaran cagar budaya, tanpa mengalihkan kepemilikannya.
“Salah satu amanat undang-undang cagar budaya juga, di daerah dibuat tim pendaftaran cagar budaya. Dari situ baru diajukan ke tim ahli cagar budaya untuk dikaji,” tambahnya.
Sebelumnya Kadis Dikbud Baubau, Eko Prasetya menekankan bahwa upaya yang perlu menjadi perhatian kedepan, untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan, kehancuran, dan kemusnahan, yakni dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran.
“Butuh kerjasama dan kesadaran bersama serta upaya yang nyata, karena cerita luhur dan kandungan kearifan lokal dari benda cagar budaya, mempunyai nilai ilmu pengetahuan yang wajib kita jaga bersama,” ungkapnya. (Redaksi)
Berita terkait ⬇