Catatan LM Irfan Mihzan (Dari beberapa sumber penginspirasi)
Pers adalah instrument paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai mahluk rasional, moral, dan sosial. (Thomas Jefferson)
Napak tilas wartawan di bumi nusantara diisi dengan berbagai kisah patriotis para wartawan pejuang, pejuang wartawan nan legendaris. Mereka yang berjiwa ksatria dan terus menginspirasi generasi penerusnya sekian puluh tahun sudah. Perjalanan panjang kewartawanan Indonesia tak bisa lepas dari sejarah Pers Nasional Indonesia.
Sejarah Pers Nasional Indonesia dimulai jauh sebelum masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Kala itu media umumnya memuat seputar berita pemerintahan Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Lanjut pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia, dari negeri Belanda. Atas instruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan.
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Pers diawal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat didalamnya. Di samping Soekarno dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, dibawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktis pada bulan September 1945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Surat kabar Republik yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republik sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Jadi Pers Nasional pada masa sebelum kemerdekaan, Pers Indonesia dimulai sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Kantor berita Antara didirikan oleh Soemanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna. Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat kabar surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama.
Polemik tentang hari Pers Indonesia sesungguhnya sudah berlangsung lama. Dimana perayaan Hari Pers Nasional (HPN) yang ditetapkan 9 Februari sepertinya belum sepenuhnya utuh dikalangan masyarakat pers. Melihat penetapan HPN pada 9 Februari ini bertepatan dengan kelahiran sebuah organisasi profesi wartawan, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946. Mantan Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas, Daniel Dhakidae mengatakan, pemerintah ketika itu keliru menetapkan HPN jatuh pada 9 Februari. HPN sendiri ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani Presiden RI ke-2 Soeharto. Menurut Daniel, penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan. Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar. Jika ditelisik dari sejarah, maka kelahiran Medan Prijaji pada medio 1 Januari 1903 yang paling mampu mengklaim kelahiran pers nasional. Sehingga, menurut dia, hari pers ini seharusnya merujuk pada kemunculan surat kabar pertama yang terbit mingguan milik pribumi sendiri ketika itu. Dunia pers Indonesia bisa dibilang semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Sikapnya ini telah mempengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut diatas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Apa boleh buat Hari Pers Nasional akhirnya diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985. Tanggal 9 Februari sendiri memiliki nilai historis bagi perkembangan pers di Indonesia karena bertepatan dengan HUT PWI. Pada tanggal 9 Februari 1946 itu diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia. Soemanang yang juga merupakan pendiri Kantor Berita Antara ditetapkan sebagai Ketua PWI pertama pada pertemuan itu. Hanya saja kalau boleh berbeda dan jujur pada sejarah, saatnyalah jurnalis Indonesia untuk menengok ke belakang sejenak, ada catatan Medan Prijaji yang jauh lebih tua dari hari Pers Nasional, kiranya ini bisa menjadikan catatan sejarah bahwa Hari Pers Nasional seperti yang dikatakan oleh Daniel Dakidae bahwa penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan. Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar. (Aji Setiawan:Pelitabanten.com).
Hari Pers Nasional (HPN). Sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, HPN telah digodok sebagai salah satu butir keputusan Kongres ke-28 Persatuan Wartawan (PWI) di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 1978. Kesepakatan tersebut, tak terlepas dari kehendak masyarakat pers untuk menetapkan satu hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional. Pada sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung tanggal 19 Februari 1981, kehendak tersebut disetujui oleh Dewan Pers untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah, sekaligus menetapkan penyelenggaraan Hari Pers Nasional. Pers selalu mengalami dinamika permasalahannya dari masa ke masa. Bukan saja pada masa Orde Baru, tetapi juga sebelum Orde Baru hingga saat ini, mulai dari belenggu kolonialisme hingga kebebasan pers yang dibungkam. Maka dari itu, diharapkan, melalui peringatan Hari Pers Nasional, insan pers dan masyarakat sudah seharusnya senantiasa berbenah dan mewujudkan cita-cita Indonesia. (id.wikipedia.org).
Bila merujuk pada keterangan diatas, kiranya cikal bakal kewartawanan di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke- 17, yang sedikit banyak mempengaruhi adalah berita-berita, persuratkabaran era pemerintah hindia belanda kala itu. Dimasa pendudukan para penjajah, mereka adalah wartawan pejuang kemerdekaan, yang mendedikasikan diri dalam perebutan kemerdekaan lewat goresan pena. Berlanjut, wartawan revolusi, mereka adalah pelaku sekaligus pencatat sejarah penggulingan kaum penjajah. Gerakan Revolusi telah dimulai sejak tahun 1908 (diperingati sebagai tahun dimulainya Kebangkitan Nasional Indonesia). Revolusi Nasional Indonesia adalah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda dibantu sekutu-nya, yang diwakili oleh Inggris. Rangkaian peristiwa yang terjadi dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai dengan adanya pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda 29 Desember 1949.
Pers di-era orde lama. Perkembangan pers Indonesia di era orde lama dibagi menjadi tiga masa, yaitu masa revolusi fisik, masa demokrasi liberal, dan masa demokrasi terpimpin.
Masa revolusi fisik, merupakan masa dimana bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Masa ini berlangsung dari tahun 1945 sampai 1949. Pada masa ini, pers dibagi menjadi dua golongan yaitu pers yang diterbitkan oleh tentara sekutu dan Belanda atau disebut Pers NICA serta pers yang diterbitkan oleh rakyat Indonesia atau disebut Pers Republik. Kedua pers tersebut memiliki agenda yang berbeda. Pers Nica berisikan propaganda yang ditujukan untuk memengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia. Sementara Pers Republik berisi kobaran semangat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan dan menentang upaya Belanda yang ingin menanamkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Pada masa revolusi fisik ini pula terjadi peristiwa penting terkait perkembangan pers di Indonesia. Peristiwa tersebut yaitu didirikannya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946 dan didirikannya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pada tanggal 8 Juni 1946. Kedua organisasi tersebut memegang peranan penting dalam sejarah pers Indonesia. Sejak dua organisasi tersebut berdiri, berbagai surat kabar mulai bermunculan di Indonesia. Kemunculan berbagi pers pada masa revolusi fisik ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu membantu pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Tujuan tersebut berbuah manis ketika dunia internasional mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh dunia internasional menjadi awal kebebasan pers di-era orde lama.
Masa demokrasi liberal, setelah pengakuan kedaulatan oleh dunia Internasional, sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi sistem parlementer yang berpaham liberal atau dikenal dengan demokrasi liberal. Masa ini berlangsung dari tahun 1950 sampai tahun 1959. Perubahan sistem pemerintahan tersebut berdampak pula pada perubahan sistem pers di Indonesia. Sistem pers nasional akhirnya menganut sistem liberal juga, yang erat kaitannya dengan kebebasan. Kebebasan tersebut tercermin dari perubahan fungsi pers di Indonesia. Apabila di masa revolusi fisik pers digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kemerdekaan, maka pada masa demokrasi liberal ini pers digunakan sebagai alat komunikasi partai politik. Pemberitaan pers pada masa ini didominasi oleh kepentingan partai politik. Hal ini bisa terjadi karena bantuan pendanaan yang dilakukan oleh partai politik terhadap perusahaan pers. Akibatnya, pers cenderung menjadi partisan dan menjadi alat perjuangan partai politik. Bahkan pemberitaan pers pada masa ini diwarnai dengan pertentangan antar partai politik yang muncul di halaman-halaman media cetak. Septiawan Santana dalam bukunya Jurnalisme Kontemporer (2017), menjelaskan bahwa meskipun pers pada masa ini digunakan sebagai alat komunikasi partai politik, para pengamat menilai masa ini merupakan masa emas kebebasan pers di Indonesia. Bahkan kebebasan pers di Indonesia pada masa ini mendapat pujian dunia internasional, yakni dari Majalah IPI-Report (International Press Institue), terbitan Oktober 1952.
Masa demokrasi terpimpin, kebebasan pers yang berlangsung pada masa demokrasi liberal tidak berlangsung lama. Berbagai gejolak politik yang terus terjadi akhirnya membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno memegang kekuasaan tunggal dan membubarkan konstituante. Presiden Soekarno mulai bertindak otoriter, termasuk pada pers. Kritik terhadap pemerintah mulai melunak dan kebebasan pers perlahan mulai tergerus pada masa demokrasi terpimpin. Dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa masa demokrasi terpimpin merupakan masa terburuk bagi kebebasan pers di era orde lama. Pada masa ini, pers diatur secara ketat dan harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah. Pers juga digunakan untuk mendukung keberadaan pemerintah serta kebijakan-kebijakannya. Masa demokrasi terpimpin merupakan masa berkuasanya pers komunis dan pers simpatisan-simpatisannya. Sebab pers komunis merupakan pers yang mendukung Ideologi Nasakom, yaitu ideologi yang diinginkan Soekarno. Pers lainnya yang menentang rezim Soekarno atau tidak mendukung ideologi Nasakom akan diasingkan, bahkan dibredel (pencabutan izin terbit). Pengekangan terhadap pers ini berlangsung hingga runtuhnya pemerintahan orde lama. (Cahya Dicky Pratama:Kompas.com).
Pers di-era orde baru. Seiring runtuhnya kekuasaan pemerintah orde lama dan digantikan dengan pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia pun perlahan memperoleh kebebasan. Kebebasan tersebut diperoleh setelah pemerintahan orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Undang-undang tersebut mengatur bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun. Pada kenyataannya, para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB. Meskipun harus memiliki surat izin, ketegangan antara pers dengan pemerintah belum terlihat ketika awal-awal pemerintahan orde baru. Pada masa awal pemerintahan orde baru, pers, dan pemerintah memiliki hubungan yang harmonis.
Hal ini terjadi karena pemerintah orde baru menjajikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Kondisi tersebut disambut baik oleh insan pers sebab di era pemerintahan yang lalu, yaitu orde lama, kondisi tersebut tidak didapatkan. Pers Indonesia di-era orde baru sering disebut sebagai pers pancasila. Ciri pers pancasila adalah bebas dan bertanggung jawab. Namun sayangnya, kebebasan tersebut hanya didapat pada saat awal-awal pemerintahan orde baru saja. Kebebasan pers memudar Kebebasan pers mulai sirna ketika terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Dalam peristiwa ini terjadi demonstrasi besar-besaran Jakarta. Demonstrasi ini dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Apabila dilihat lebih jauh, aksi tersebut berakar dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dibidang sosial dan ekonomi. Akibat peristiwa tersebut banyak aktivis yang ditangkap. Tidak hanya aktivis, peristiwa tersebut juga berdampak pada kehidupan pers.
David T. Hill dalam bukunya Pers di Masa Orde Baru (2011), menjelaskan bahwa setelah Peristiwa Malari ada 12 pers yang kehilangan surat izin terbit dan surat izin cetak atau bisa dibilang dibredel oleh pemerintah. Sejak Peristiwa Malari, pemerintah mulai memperhatikan dan menekan pers. Tekanan terhadap pers semakin terasa ketika pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Undang-undang tersebut merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Apabila dalam undang-undang nomor 11 tahun 1966 tidak mengatur surat izin penerbitan pers, maka dalam undang-undang nomor 21 tahun 1982 surat izin pers benar-benar diatur. Surat izin tersebut dikenal sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. Departemen Penerangan dan SIUPP merupakan faktor yang menjadi penghambat kebebasan pers pada masa orde baru. Perusahaan pers dituntut sejalan dengan kebijakan pemerintahan orde baru. Apabila perusahaan pers tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau malah mengkritik kebijakan pemerintah, maka SIUPP-nya akan dicabut (dibredel) oleh Departemen Penerangan.
Meskipun begitu, masih banyak perusahaan pers yang tetap mengkritik pemerintahan orde baru. Tempo, DeTik, dan Editor merupakan perusahaan pers yang pernah dibredel oleh pemerintahan orde baru. Alat pemerintahan dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa pada masa orde baru, segala penerbitan pers berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen Penerangan. Apabila tetap ingin hidup, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintah orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya. Sehingga pers tidak bisa menjalankan fungsinya yang sesungguhnya, yaitu mengawasi kinerja pemerintah dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Penekanan terhadap pers ini berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah orde baru. (Cahya Dicky Pratama:Kompas.com).
Pers di-era reformasi. Setelah mengalami pengekangan yang begitu lama di-era pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia akhirnya benar-benar mendapatkan kebebasan ketika reformasi bergulir pada bulan Mei 1998. Reformasi bergulir karena masyarakat menginginkan reformasi pada segala bidang, baik ekonomi, sosial, dan budaya yang pada masa pemerintahan orde baru terbelenggu. Termasuk reformasi pada bidang pers. Reformasi pada bidang pers ditujukan agar kehidupan pers di Indonesia benar-benar memperoleh kebebasan. Langkah pertama untuk memulai kebebasan pers di Indonesia adalah dengan mencabut aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan dicabutnya SIUPP, akhirnya berbagai perusahaan pers baru bermunculan, baik itu media cetak, televisi, maupun radio. Munculnya berbagai macam perusahaan pers tersebut merupakan bentuk sukacita setelah sekian lama dibelenggu oleh kekuasaan pemerintah orde baru.
Selain dicabutnya SIUPP, upaya lainnya adalah penghapusan Departemen Penerangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Departemen Penerangan di-era pemerintahan orde baru memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menekan dan mengatur pers. Oleh sebab itulah, Departemen Penerangan dihapus agar pers bisa leluasa melaksanakan kegiatan jurnalistiknya. Selain kedua tindakan tersebut, ada satu tindakan terpenting untuk memulai kebebasan pers di Indonesia yaitu diterbitkanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini merupakan tonggak awal kebebasan pers di Indonesia. Kemerdekaan pers Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Inge Hutagalung dalam jurnalnya Dinamika Sistem Pers di Indonesia (2013) menjelaskan bahwa dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara normatif pers di Indonesia telah menganut sistem pers tanggung jawab sosial.
Sistem pers tanggung jawab sosial menekankan kebebasan pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat atau kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 juga memberikan kewenangan pada masyarakat untuk mengontrol kinerja pers. Hal tersebut jelaslah berbeda dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 yang memberikan wewenang pada pemerintah orde baru untuk mengontrol kinerja pers. Ketika reformasi bergulir, berbagai elemen masyarakat Indonesia berusaha untuk menata kembali sistem demokrasi yang ideal. Salah satunya adalah dengan menegakkan kebebasan pers. Sebab kebebasan pers merupakan cermin sistem demokrasi yang ideal. Dalam buku Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi (2012) karya Henry Subiakto dan Rachmah Ida, dijelaskan bahwa melalui kebebasan pers masyarakat dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Selain itu, dengan adanya kebebasan, pers bisa secara leluasa menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. (Cahya Dicky Pratama:Kompas.com).
Betapa dinamisnya dunia kewartawanan selaku subyek utama yang telah melewati beberapa era kehidupan Pers di Indonesia. Mereka terus beradaptasi, sekaligus membersamai ekosistem Pers dari zaman ke zaman, dari kekuasaan satu gerbong politik berganti kekuasaan gerbong politik lainnya. Ibarat kata, setiap penguasa ada masanya, setiap masa ada penguasanya, tetapi wartawan tetap ada sepanjang masa.
Mata saya menyolek hati mencermati pemaknaan Pers yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, sebagai berikut: Pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa, yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan alat-alat foto, klise, mesin-mesin stencil atau alat-alat tehnik lainnya. Dalam Undang-Undang yang sama juga mengatur bahwa Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif. Bahwa Pers Indonesia harus mempunyai idealisme jelas pula dicantumkan dalam defenisi Pers diatas, yakni Pers Indonesia merupakan alat perjuangan nasional, bukan sekedar penjual berita untuk mencari keuntungan finansial. (Prof Drs Onong Uchjana Effendy MA, 1984). Bila menyandingkannya dengan pemaknaan Pers yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, sebagai berikut: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Frasa lembaga kemasyarakatan dan frasa lembaga sosial. Lembaga adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha : pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Sosial adalah berkenaan dengan masyarakat : suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dan sebagainya. Kemasyarakatan adalah perihal (mengenai) masyarakat.
Fungsi Pers yang termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang diubah dengan Undang-Undang 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, berbunyi sebagai berikut: 1) Pers Nasional adalah alat perjuangan nasional dan merupakan massa media yang bersifat aktif, dinamis kreatif, edukatif informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresif meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia. 2)Dalam rangka meningkatkan peranannya dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat.
Fungsi Pers yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers berbunyi, sebagai berikut: Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Selain itu pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Dari penjabaran tentang pers diatas, dengan terjadinya beberapa kali perubahan Undang-Undang yang memayunginya, jelas kiranya bahwa pers di Indonesia tidak berfungsi tunggal, sebab pers juga memiliki keleluasaan menjalankan fungsi sebagai lembaga ekonomi, yang tentu saja berorientasi pada profit, atau keuntungan finansial. Didalamnya juga ada tuntutan kewajiban akan pemenuhan kesejahteraan bagi penggerak atau pekerjanya. Pertanyaannya apakah pers bisa tetap mengedepankan independensi, berdiri tegak untuk kepentingan memperjuangkan kesejahhteraan masyarakat?. Ataukah pers dengan instrumen pemberitaan justru hanya menjadi ajang media dalam melegalkan praktek tawar menawar untuk memuluskan kepentingan keuntungan finansial?, atau kepentingan menempati strata sosial tinggi, diatas kepentingan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, sebagai idealisme pers?. Tanya hati kita. (**)
Catatan lainnya:
Komentar