Tegarnya Nenek Wasia di Sudut Kota Terabaikan

Catatan LM. Irfan Mihzan

Wajah nan sendu, kulitnya keriput, dengan uban di rambutnya, nenek Wasia menyambut ramah kehadiran saya. Sambil tersenyum ia mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam istana kecilnya, memperkenankan saya berbincang sambil menemaninya menunggui ubi kayu yang direbusnya, dengan kayu bakar dari limbah kayu yang dikumpulkan sendiri.

Perbincangan dengan nenek Wasia, ia selalu tersenyum, meskipun kenyataannya ia telah sangat lama menjalani pahit getir kehidupan, dalam rentang waktu dirinya yang semakin menua.

Nenek Wasia begitu tegar menjalani hidup, meskipun ia sudah mulai merasakan sakit-sakitan pada bagian lutut dan pinggangnya. Usianya hampir 70 tahun, tinggal di bangunan non fungsi milik pemerintah di pelataran Pantai Kamali Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kesehariannya, nenek Wasia hidup dengan memungut sampah plastik juga barang bekas. Meskipun tak seberapa rupiah yang dihasilkan dari pekerjaannya sebagai pemulung, namun Ia senantiasa bersyukur kepada Sang Pencipta. Dalam waktu lebih dari sebulan, bahkan sampai dua bulan, ia hanya bisa mengumpulkan rata-rata Rp400 ribu. Uang inilah yang digunakannya untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama dua cucunya yang masih kecil-kecil.

Cucu perempuan nenek Wasia berumur enam tahun duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, dan cucu laki-lakinya berumur tiga tahun, belum bersekolah.

Bangunan yang ditempati nenek Wasia

Nenek Wasia menempati bangunan kumuh ini sudah sejak sekitar tiga tahun yang lalu, berawal dari peristiwa kebakaran yang menghanguskan rumahnya hingga rata dengan tanah. Musibah kebakaran di Jembatan Batu, yang membuatnya trauma hingga kini. Padahal dahulu sebelum kebakaran, nenek Wasia masih bisa berjualan kopi dan gorengan di rumah petak terbuat dari kayu miliknya.

Ia tak punya tempat berteduh lain, ia juga tak punya pilihan lain, selain menempati kediamannya saat ini.

Mungkin bagi sebagian orang kediaman nenek Wasia jauh dari kata layak untuk dihuni, namun baginya adalah bak sebuah istana, sebab disinilah ia bisa berteduh dari terik mentari serta rinai hujan. Disini pula pada pagi hingga sore hari ia bisa beristirahat, bermain bersama cucu, disela aktivitasnya bekeliling kota di malam hari. Ketika petang sang mentari tenggelam diufuk barat, nenek Wasia pun bersiap untuk mengais reski.

Bermodalkan sebuah gerobak reot, nenek Wasia menyusuri jalan berkilometer untuk mengumpulkan satu persatu sampah plastik dan barang bekas, yang bak intan permata baginya.

Kembali ke istana nenek Wasia, ruangan sempit yang hanya dua petak, satu ruangan digunakan untuk tidur, satunya lagi untuk memasak dan tempat menampung air di wadah jerigen.

Tampak pemandangan tumpukan sampah plastik dan pakaian berserakan di dalam istana nenek Wasia. Di bagian luar, halamannya dihiasi tumpukan sampah plastik serta barang bekas hasil memulung nenek Wasia.

“Kalau buang air di wc umum disana,” ujar nenek Wasia, sembari menunjuk ke arah timur letak wc umum yang dimaksudnya.

Sampah plastik dan barang bekas yang dikumpulkan nenek Wasia baru akan ditimbang dan dijual sekali dalam sebulan atau dua bulan. Kata nenek Wasia, agar bisa memegang uang yang lebih banyak, bila dibandingkan dijual per minggu apalagi per hari.

Menurut nenek Wasia, ia masih cukup beruntung sebab masih diberi reski umur panjang, serta kemampuan untuk memulung sampah. Juga, istananya pun masih bisa dialiri listrik, dan air bersih, yang disambungkan dari rumah di sekitarnya.

Nenek Wasia menceriterakan sepenggal kisahnya, bahwa ia berasal dari Muna, dan merantau ke Kota Baubau saat umurnya masih 16 tahun. Di Negeri Syara Patanguna inilah ia menemukan jodohnya, yakni sang suami tercinta, yang telah lama meninggal dunia. Nenek Wasia kemudian menikah kembali untuk keduakalinya, namun takdir sudah tergariskan, suami keduanya juga lebih dulu meninggalkannya menghadap Sang Pencipta.

Dari dua kali pernikahannya, nenek Wasia dikaruniai tujuh putera, dan seorang puteri, dengan 13 cucu. Tiga puteranya juga telah meninggal dunia.

“Sudah lama saya tinggal di Wale ini sudah sekitar 40 tahun, sebelum kebakaran dulu. Saya selalu dapat bantuan dari kelurahan,” kata nenek Wasia, yang juga mendapatkan bantuan PKH (Program Keluarga Harapan). Menurut nenek Wasia cucunya juga bersekolah secara gratis, termasuk ia juga mendapatkan layanan kesehatan gratis di Puskesmas.

Entah sampai kapan nenek Wasia mendiami istananya?. Apakah sampai dengan hadirnya sentuhan pembangunan yang akan memoles bangunan non fungsi tersebut, hingga cerah menawan?, atau akankah sampai pada dirobohkan dan digantikannya bangunan tersebut dengan desain konstruksi/lanskape kekinian.

Acapkali kita terlupa, terpenting sebuah pertanyaan yang harusnya bisa terjawab, apakah nenek Wasia akan bermukim seumur hidupnya disana?, dalam sendu mendekap geliat perekonomian kota pemilik benteng megah terluas di dunia ini!. (***)

Komentar