“Temuan” Hibah Daerah untuk Ormas, Ranah Administrasi atau Korupsi?

(Catatan LM. Irfan Mihzan, Pendiri Kasamea.com-Pegiat Anti Korupsi LAKI, Paralegal Posbakumadin)

Opini

Bantuan hibah daerah untuk Organisasi Masyarakat (Ormas) berpotensi menjadi lahan subur bagi koruptor. Mereka bekerja terstruktur dan sistematis, mulai dari tahap perencanaan peruntukkan dana, penganggaran, pencairan dana, penggunaan, hingga pertanggungjawaban penggunaan dana.

Bukan pemain solo/tunggal, biasanya praktek rasuah dalam hibah daerah bagi Ormas ini dilakukan secara berjamaah, dalam suasana hangat penuh keakraban, kekompakkan, kebersamaan, dengan perannya masing-masing. Paling parah bila ada atasan sebagai penentu kebijakan, atau pemangku kepentingan mengintervensi atau terlibat didalamnya (konflik kepentingan).

Bawahan sebagai anak buah lebih berani atau leluasa bekerja, atau karena dalih mengamankan perintah BOS. Sungguh anak buah yang manut, meskipun harus menanggung resiko melanggar peraturan perundang-undangan/melanggar hukum. Akan tetapi, bisa jadi juga anak buah seperti ini tidak terlalu mengetahui, tidak terlalu memahami aturan perundang-undangan yang memayungi hibah daerah bagi Ormas, yang bisa menyebabkan dampak hukum diakhirnya. Sehingga dianya yang menjadi ‘kambing hitam’, atau pasang badan untuk mengamankan para atasan, terlebih BOS.

Tak jarang penyalahgunaan dana hibah daerah justru luput dari audit BPK RI. Istilahnya lolos dari pemeriksaan yang bikin ‘dumba-dumba’.

Dugaan Tipikor terkait hibah daerah, biasanya mulai mencuat ke permukaan ketika informasinya sudah bocor, dilaporkan oleh masyarakat, hingga menyeruak ke publik, bermula dari aspirasi yang diteriakan dalam aksi unjuk rasa elemen masyarakat, pemuda. Apalagi sudah menjadi bulan-bulanan para ‘kuli tinta’ yang mewarnai pemberitaan, hingga menuai polemik.

Nah ketika itulah pentingnya Inspektorat Daerah selaku APIP hadir sebagai penyelamat keuangan daerah. Mereka para auditor internal ini akan bekerja berlabel admninistratif, melakukan pemeriksaan pihak terkait, mengumpulkan keterangan, menyandingkannya dengan dokumen relevan, kemudian mengakumulasi dugaan kerugian keuangan daerah. Alhasil, merekomendasikan pengembalian keuangan daerah yang ditemukan.

Timbul pertanyaan, apakah dugaan penyalahgunaan dana bantuan hibah daerah sifatnya hanya ranah administrasi saja?, ataukah dapat terjerat ranah tindak pidana korupsi (Tipikor)?.

Merujuk pada Permendagri nomor 123 tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendagri nomor 32 tahun 2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD. Sudah ada rambu-rambu, ketentuan pemberian hibah daerah, yang prosesnya tidak ujuk-ujuk. Prosesnya satu rangkaian yang cukup Panjang, dan tidak dapat terpisahkan, dari awal hingga akhir, dari perencanaan hingga pertanggungjawaban penggunaan dana.

Perlu diingat pula, bahwa dalam ranah administrasi, dapat terjadi cacat prosedur, bila dalam pelaksanaannya tidak sesuai atau terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ranah administrasi juga dapat terjadi cacat kewenangan, bila dalam pelaksanaannya tidak dilakukan pihak yang berwenang, sesuai jabatan atau kewenangannya. Paling parah cacat substansi, bila dalam pelaksanaannya terjadi Tipikor.

Oleh karena itu para penyelenggara pelayanan pemerintahan daerah, khususnya yang berkaitan dengan pemberian hibah daerah bagi Ormas, yang bersumber dari APBD, harus betul-betul memahami prosedur, bekerja sesuai pedoman pemberian hibah daerah dimaksud. Jangan keluar dari substansi. Begitupula penerima hibah daerah.

Sepanjang pelaksanaan pemberian dana bantuan hibah sesuai dengan prosedur, pedoman, dan tidak keluar dari substansi, tentu akan berjalan sebagaimanamestinya. Dilengkapi dengan dokumen administrasi, mulai dari proses usulan permohonan bantuan dana hibah yang diajukan organisasi masyarakat, penganggaran dalam APBD, Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang ditandatangani kedua pihak pemberi dan penerima (yang memiliki kewenangan), proses pencairan dana hibah (SP2D), penggunaan dana hibah sesuai peruntukkannya, laporan pertanggungjawaban penggunaan dana hibah daerah yang rill, tanpa menipulasi, rekayasa, fiktif, atau pemalsuan.

Seperti diketahui, terdapat 30 bentuk/jenis Tindak pidana korupsi (Tipikor) yang diatur secara gambling dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001.

Kaitan penggunaan dana hibah daerah bagi Ormas, mengurai dugaan terjadinya suatu Tipikor tentu harus bisa terpenuhi unsurnya. Sehingga dapat ditemukan, dapat terpenuhi alat buktinya. Tidak bisa hanya dengan berdasarkan asumsi, karena rasa kebencian, permusuhan atau fitnah. Apalagi karena adanya tendensi kepentingan politik pihak tertentu.

Menyangkut dugaan kerugian negara, telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001. Unsurnya meliputi; – setiap orang, – memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, – dengan cara melawan hukum, – dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dilengkapi dengan fakta perbuatan yang dilakukan dan kejadian yang ditemukan, serta alat bukti yang mendukung.

Menyangkut dugaan suap menyuap, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b. Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c dan huruf d.

Menyangkut dugaan penggelapan dalam jabatan, merujuk pada Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c.

Proses pencairan dana hibah daerah melalui Badan Keuangan dan Aset Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), ditandai dengan diterbitkannya surat perintah pencairan dana (SP2D). Kemudian ditransfer ke rekening giro Ormas.

Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (***)

Komentar