Catatan LM. Irfan Mihzan
Riwayat dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian” (HR Muslim).
Tanpa Lawan
Wartawan adalah warga tanpa lawan, artinya, dia (Wartawan) secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, tidak sedang tandingan, berbandingan, seteru, menentang atau berhadap-hadapan dengan siapapun. Sejatinya dia netral, tidak berpihak, tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak. Kecuali, pada kontribusinya dalam penegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wartawan independen, berdiri sendiri, dan berjiwa bebas. Namun begitu, dalam menjalani kegiatan jurnalistiknya, dia patuh pada aturan yang dipakai sebagai panduan. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Kode Perilaku Wartawan (Bagi Wartawan yang tergabung dalam organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia ‘PWI’).
Tak luput berbagai pedoman pemberitaan, antara lain: ramah anak, ramah disabilitas, terkait tindak dan upaya bunuh diri, hak jawab, hak tolak, peliputan terorisme, seruan pemberitaan kasus kejahatan asusila, dan aturan/kebijakan relevan lainnya.
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pilar keempat dalam demokrasi, Wartawan memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum. Sebagai pilar utama kemerdekaan pers, Wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Dia yang menaati KEJ dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi. Tugas jurnalistik dimaksud meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa.
Dalam menjalankan tugas jurnalistik Wartawan juga dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun. Termasuk pula karya jurnalistik Wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran.
Lebih lanjut, standar perlindungan profesi Wartawan menegaskan bahwa Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya.
Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, Wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai Wartawan dan tidak menggunakan identitas pihaknyang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh.
Standar perlindungan profesi Wartawan ini bersifat nasional, menimbang bahwa untuk menjaga kemerdekaan pers dan melindungi Wartawan. Dapat menjadi pedoman bagi semua pihak dalam memperlakukan Wartawan dan menjadi acuan bagi Dewan Pers untuk menjaga kemerdekaan pers dan melindungi Wartawan.
Banyak Kawan
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).
Banyak kawan, yah tak berlebihan bila dikatakan Wartawan memiliki kawan dimana-mana. Bila dihitung-hitung, semisal setiap hari seorang Wartawan menjumpai 5 orang saja (Narasumber maupun orang lain yang dijumpai saat melakukan tugas peliputan berita), maka dalam sebulan (30 hari) dia bisa menjumpai 150 orang.
Menjalankan profesi nan mulia ini, seorang Wartawan setiap harinya bertemu orang-orang, bertegur sapa, berjumpa, berbincang, melakukan wawancara, dan tak jarang diwarnai dengan senda gurau, canda tawa. Sungguh suatu aktivitas yang sarat nilai silaturahmi, dapat menyambung /mempererat tali persaudaraan, melancarkan rezeki, mengasah serta meningkatkan sikap empati, dan terhindar dari sikap egois.
Dengan bermodalkan komunikasi yang baik, secara lisan atau tulisan, seorang Wartawan dapat membangun koneksi dengan banyak kalangan, lintas profesi, status sosial, jelata, menengah, hingga kalangan atas sekalipun. Koneksi dimaksud adalah jalinan kemitraan, berkaitan dengan tugas jurnalistik yang kerap kali juga semakin merekatkan ikatan emosional, keakraban.
Tak jarang Wartawan juga berhadapan dengan realitas yang menguji kesabaran, mental, pun bijaknya. Ketika dia memberitakan informasi suatu kasus hukum yang menjerat oknum, pejabat, atau pengusaha. Begitu pula permasalahan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik yang bobrok, tak berpihak kepada masyarakat.
Diantara “mereka” masih ada saja yang merasa terusik dan bereaksi secara berlebihan, atas fakta/data yang diangkat dalam pemberitaan kasus/masalah. Padahal Wartawan itu “Tanpa Lawan” seperti yang terurai dalam paragraf teratas, tendensinya hanya semata-mata menunaikan tugas jurnalistik, yang juga tak lepas dari seni menulis, atau karakter ciri khas dalam memberitakan.
Ancaman, cemoohan, ketidaksenangan, merupakan satu fase dimana Wartawan masih dibayangi penghalangan dalam menjalankan aktivitas jurnalisitik. Profesi Wartawan sebagai bagian dari pers nasional yang memiliki kemerdekaan dalam mewujudkan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pers nasional yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Menjadi tantangan tersendiri bagi seorang Wartawan, untuk mencapai moral clarity (Kejernihan moral). Dan yang terpenting bisa atau tetap menjadi kawan, bukannya menjadi musuh kemerdekaan pers.
Menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh
informasi yang benar, Wartawan harus menjunjung tinggi integritas serta profesionalitas, demi menjaga kepercayaan publik. Sebagai landasan moralnya, terang diatur dalam KEJ :
- Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat berimbang, dan tidak beritikad buruk;
- Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik;
- Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah; - Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul;
- Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan;
- Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap;
- Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan; - Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani; - Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik;
- Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa;
- Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. (**)
Komentar