Menafsir Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara

Oleh Ricy Saite, SKM.,S.H.,MH
Alumni PPS UMI

Perdebatan yang terjadi belakangan ini antara pihak penggugat dalam hal ini Dr. Roni Muhtar, M.Pd dan Pihak tergugat dalam hal ini Walikota Baubau tidak lain terkait terbitnya Penetapan PTUN Kendari Nomor 30/PEN/ 2023/PTUN.KDI, Tanggal 27 Juni 2023 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan Walikota Baubau Nomor : 101/I/2023 tanggal 31 Januari 2023, tentang Pemberhentian Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau Atas Nama Dr. Roni Muhtar, M.Pd.

Berkaitan dengan Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan tersebut dilandasi pasal 67 ayat 2 dan ayat (4) huruf a UU PTUN juncto SEMA No 2 tahun 1991 poin VI. Dalam Pasal 67 ayat 1 menyebutkan bahwa “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat”. Namun dalam Pasal 67 ayat (2) menyebutkan bahwa “Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, kemudian dalam ayat (4) huruf a menyebutkan bahwa “Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu tetap dilaksanakan”.

Jika kita analisa pasal 67 uu aquo maka dalam ayat 2 memberi hak kepada penggugat untuk “dalam keadaan tertentu” diperkenankan menyimpang asas praduga rechmatig yang terdapat dalam pasal 67 ayat 1. Asas tersebut mengandung makna bahwa setiap Tindakan penguasa harus selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya.

Tafsir gramatikal terhadap korelasi pasal 67 ayat (1) dan (2) menimbulkan kesan seolah-olah terdapat kontradiksi antara kedua ayat tersebut. Jika pasal 67 ayat 1 melarang penundaan pelaksanaan KTUN, maka pasal 67 ayat 2 justru membuka peluang untuk dilakukannya penundaan pelaksanaan KTUN. Namun dengan menggunakan tafsir sistematik dapat dianalisis hubungan antara kedua ayat dari pasal tersebut merupakan hubungan antara prinsip umum dengan prinsip khusus. Dalam keadaan khusus sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat 4, dapat diterapkan prinsip khusus yang terdapat dalam pasal 67 ayat 2 yang mengecualikan prinsip umumnya (pasal 67 ayat 1) yang mengandung prinsip praduga keabsahan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan penggugat.

Kriteria penundaaan pelaksanaan KTUN didalam UU hanya disebutkan harus terdapat keadaan yang sangat mendesak sehingga mengakibatkan kepentingan penggugat merasa dirugikan jika KTUN tersebut tetap dilaksanakan. yang kemudian diatur lebih rinci dalam SEMA No 2 tahun 1991 poin VI.

Disamping itu dalam Juklak Mahkamah Agung RI Nomor 224/Td.TUN/X/1993 yang dirumuskan dalam pelatihan pemantapan keterampilan hakim PTUN tahun 1993, Didalam Juklak tersebut pada angka VI, Penundaan Pelaksanaan KTUN yang disengketakan, menentukan; schorsing atau penundaan pelaksanaan KTUN yang disengketakan (Vide pasal 67 UU PTUN) yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan ataupun majelis hakim diartikan sudah termasuk penundaan tindakan-tindakan Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal yang sama, seperti larangan diterbitkannya surat KTUN yang baru mengenai hal yang sama.

Juga dalam Juklak No. 1 Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan KTUN yang digugat (Ps. 67 UU No 5 Tahun 1986), angka 3 menyebutkan “Yang ditunda adalah daya berlakunya Surat Keputusan TUN, maka jika daya berlakunya Surat Keputusan TUN dihentikan, akibat hukumnya seluruh tindakan pelaksanaan Surat KTUN terhenti oleh karenanya”. Atas dasar itu tidak dibolehkan menetapkan penundaan pelaksanaan Surat KTUN yang digugat hanya berlaku untuk Sebagian saja (secara parsial), dan ayat (10) nya menyebutkan “Penetapan penundaan yang dibuat, daya berlakunya mengikuti sampai dengan putusan pokok sengketanya berkekuatan hukum tetap”.

Selain itu dalam keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 huruf r menyebutkan bahwa “Penetapan Penundaan yang tidak dipenuhi oleh tergugat, secara kasuistis dapat diterapkan pasal 116 UU tentang PERATUN sebagaimana yang diterapkan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Eksekusi putusan penundaan pelaksanaan KTUN merupakan suatu bentuk penegakkan hukum sekaligus untuk memberikan perlindungan akan hak-hak perorangan sebagai salah satu tujuan diadakannya Peradilan Tata Usaha Negara.

Untuk itu, menjadi kewajiban moral bagi Pejabat TUN untuk menumbuhkan kesadaran hukum dalam melaksanakan penetapan atau putusan PTUN serta merawat budaya patuh hukum dalam mengelolah daerah sebagaimana negara kita menganut negara hukum.

Komentar