OPINI: Kekerasan di Lapas, Sudahi!

Penulis: Erwin Usman, Presidium Nasional PENA 98, Pendiri LBH Kendari

Sebelumnya, maafkan saya karena baru menyapa lagi. Seri mawas diri (MD) edisi kelima kali ini tak jauh-jauh dari soal hukum dan keadilan. Topik kali ini, tentang praktik kekerasan di dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan (Lapas). Tempat di mana tahanan dan terpidana menjalani hukuman setelah divonis hakim. Tempat pembinaan bagi narapidana sebelum kembali ke masyarakat pasca bebas, sesuai namanya: lembaga pemasyarakatan.

Seperti biasanya, kali ini telepon masuk dari kawan di Sulawesi Tenggara (Sultra). Dia memberi kabar soal informasi di Lapas Kelas II A kota Baubau. Terkait adanya penganiayaan napi oleh petugas penjara. 3 orang napi korbannya. Tapi, 2 orang yang cukup parah. Inisialnya masing-masing: A, LB dan J. Mereka napi kasus narkoba dan penganiayaan. Kejadian pada Minggu (15/8/2021). Persoalannya sepele, soal telepon genggam, barang razia dari blok napi, 6 buah yang hilang dari ruang Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP). Dan napi korban tersebut tertuduh. Lalu mengalami penganiayaan, diminta mengakui sebagai pelaku –hingga harus dirawat di klinik Lapas.

Penelusuran kemudian, kasus ini tidak diangkat media massa. Walau informannya sudah menyampaikan ke sebuah media dan seorang pimpinan OKP di kota tersebut, agar ada liputan khusus dan aksi massa ke Lapas. Entah kenapa, hingga catatan ini ditulis, tak ada liputan dan aksi itu. Padahal, penganiayaan atau penyiksaan (torture) adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Mari kita lihat sedikit ke teori hukumnya. Begini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun 1998, terbit tanggal 28 September 1998 –23 tahun lampau. Dengan aturan ini, negara para pihak diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, dan judisial yang efektif untuk mencegah tindakan-tindakan penyiksaan itu. Kemudian, Pasal 33 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dengan tegas menyebutkan: perlindungan bagi setiap orang bebas dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi itu.

Karena aturan hukumnya sudah jelas. Dan sudah banyak himbauan tegas dari Menteri Hukum dan HAM. Yang tidak akan mentolerir praktik-praktik penganiayaan petugas dalam Lapas. Maka, semestinya kasus penyiksaan ini jadi konsen dan kepedulian kita semua.

Mahasiswa, aktivis, pers, LBH, pengacara publik, akademisi lokal bersuaralah. Jangan diam. Bertindaklah. Berilah kepedulian pada kasus-kasus hak asasi manusia serupa ini. Yang aktivis dan mahasiswa datangi Lapas, gelar aksi dan minta dipertemukan sama korban. Desak Kalapasnya tanggung jawab dan dicopot. Yang pers, telepon Kalapasnya dan minta klarifikasi-minta akses masuk ketemu korban. Pastikan saja mereka tidak diintimidasi sebelumnya. Bagi akademisi menulislah topik-topik public interest serupa ini. Yang pegiat lembaga bantuan hukum (LBH) dan pengacara publik lokal: perkarakan kasusnya. Advokat pasti sudah paham aturan hukumnya –tak elok jika saya menggarami lautan.

Besok, kalau dibiarkan, akan jadi tradisi buruk. Kebiasaan. Tidak baik.

20.08.2021

MDSeries #MawasDiri #antitorture #lapas

Komentar