Kasus Tanah di Samparona, Zainal Arifin Ryha Kontra Camat Sorawolio

Zainal Arifin Ryha


Baubau

Permasalahan kepemilikan tanah di area bumi perkemahan Samparona Kelurahan Kaisabu Baru Kecamatan Sorawolio Kota Baubau, merembet ke jalur hukum di Polres Baubau, setelah sebelumnya terjadi rapat di Komisi I DPRD Kota Baubau. Zainal Arifin Ryha yang melayangkan laporan pengaduan dugaan penyalahgunaan wewenang dan dugaan pemalsuan dokumen, kemudian disusul laporan pengaduan dugaan keterangan palsu, dengan terlapor/teradu Camat Sorawolio, Muslimin.

Usai pernyataan Muslimin dalam berita sebelumnya: https://www.kasamea.com/diadukan-ke-polisi-oknum-camat-di-baubau-anggap-wajar/ , Zainal pun menanggapinya dengan terlebih dahulu mengungkapkan rasa syukurnya, karena menurutnya, pernyataan Muslimin dalam berita tersebut semakin membuat terang perkara yang sedang berproses di Polres Baubau.

Zainal menegaskan, pernyataan Muslimin dimaksud, semakin menguatkan dugaan terjadinya “perampokan” lahan milik warga, oleh oknum aparatur Pemkot Baubau bersama oknum aparatur BPN Baubau, secara kasar dan sewenang-wenang, atas dasar kekuasaan dengan cara memanipulasi hukum.

Zainal mengurai kronologis kasus tersebut, sebagai berikut:

Awalnya, 16 hektare lahan di Samparona adalah kebun milik Daeng Ahmad, pengusaha, yang juga paman dari mertua perempuan Zainal, yang perolehannya lewat SK Bupati dengan membayar sejumlah kompensasi kepada Pemda Buton saat itu, bukan SK Gubernur seperti pemberitaan sebelumnya.

“Saat itu memang Bupati gencar meminta warga yang punya modal membuka perkebunan, agar terbuka lapangan kerja bagi warga setempat. Di Liabuku tanah diberikan khususnya kepada warga asal Toraja untuk membuka sawah, termasuk mertua laki-laki saya yang berasal dari Toraja, masih punya sawah di Liabuku,” ungkapnya.

Selain Daeng Ahmad, ada 2 orang lagi yang mendapat SK Bupati Buton untuk membuka perkebunan di Samparona tahun 1972, yaitu Amirudin, seorang pensiunan Polri, dan mantan Camat Kabaena, yang juga kerabat dekat Daeng Ahmad, serta Frans (Toko Panca Darma), kawan dekat Daeng Ahmad.

Amiruddin memperoleh lahan bersebelahan dengan Daeng Ahmad, sedang Frans berada di depan lahan keduanya. Lahan milik Amiruddin ini sekarang milik Kasim Siruhu (Almarhum) dan bersertifikat, setelah membeli dari ahli waris Amiruddin. sedang Frans masih dimiliki sendiri hingga detik ini, meskipun sempat beredar rumor diperebutkan oknum-oknum aparat setempat, karena mereka mengira lahan kosong tak bertuan.

“Semua warga di Kaisabu, Kaisabu Baru, dan Bugi, yang lahir tahun 1970 ke bawah pasti tahu lahan di Samparona milik Daeng Ahmad, karena hampir semua warga saat itu dari anak-anak sampai orang tua bekerja sebagai buruh tani di kebun tersebut,” ungkapnya. Bahkan Zainal menduga, baik Muslimin maupun Lurah Kaisabu Baru, Arianto, tahu hal itu, tapi pura-pura tidak tahu.

Tahun 2003 terjadi kesepakatan jual beli antara ahli waris Daeng Ahmad dengan H Djufri. Untuk itu Azhar Ahmad (selaku Ahli Waris Daeng Ahmad) ditemani H Jufri, mengurus surat penguasaan tanah (sporadik) dengan membawa akta kematian ayahnya beserta surat keterangan ahli waris. Sehingga terbitlah sporadik atas nama Azhar Ahmad yang ditandatangani Kades Kaisabu La Samiri Sabuko. Saat itu Azhar Ahmad berusia 38 tahun, dan posisinya sebagai ahli waris.

“Jadi pernyataan Muslimin yang menyoal umur Azhar Ahmad yang berusia 10 tahun ketika pembukaan lahan itu keliru dan out of context, karena yang menerima pemberian lahan tahun 1972 itu ayahnya, bukan Azhar Ahmad,” bongkar Zainal.

Yang menarik dari poin ini, kata Zainal, karena alasan yang sama juga dikemukakan pihak BPN Baubau, untuk menjawab surat keberatan yang diajukan Zainal sebelumnya. Zainal menduga sudah terjadi kompromi dan penyamaan wacana antara oknum aparatur Pemkot Baubau dan oknum aparatur BPN Baubau.

Kata Zainal, berbekal sporadik itulah dibuat perikatan jual beli antara H Jufri yang diwakili isterinya Hasmawati, dengan Azhar Ahmad dihadapan notaris Munawir, namun kemudian dibatalkan lewat pengadilan karena terjadi wanprestasi.

Tahun 2009 Pemkot Baubau meminjam sebagian lahan tersebut (bukan seluruhnya) untuk kegiatan Perkempi tingkat nasional.

“Surat peminjaman tersebut beserta sporadik atas nama Azhar Ahmad dan sejumlah dokumen lainnya, menjadi alat bukti dalam sengketa perdata di pengadilan, yang kami menangkan, berikut keterangan saksi Kostantinus Bukide mantan Kabag Hukum Pemkot Baubau (Sekda – mantan Pj Bupati Buton Tengah), yang mengaku mendraft surat tersebut sebelum ditandatangani Sekda Baubau saat itu, Suhufan. Berbeda dengan pihak sebelah yang tidak punya bukti hukum, hanya berdasarkan “omon-omon” dan logika kekuasaan sebagai aparat pemerintah untuk mendukung klaim mereka,” urai Zainal.

Berlanjut, tahun 2017, Zainal yang diamanatkan keluarga besar Daeng Ahmad untuk mengurus penyelesaian lahan tersebut, mengajukan gugatan perdata di PN Baubau. Sebelum mengajukan gugatan tersebut, Zainal menemui Walikota Baubau AS Tamrin, dan meminta agar menghentikan proyek pengaspalan jalan lingkar diatas lahan tersebut. Walikota AS Tamrin kaget karena selama ini mengira lahan itu milik Pemkot Baubau, tapi kemudian setuju sehingga teraspal hanya 30 meter dari rencana awal 800 meter.

Zainal juga mendatangi bagian pencatatan aset Pemkot Baubau, dan menanyakan apakah lahan tersebut diakui dan tercatat sebagai aset Pemkot Baubau. Jawaban yang diperoleh, tanah tersebut tidak tercatat sebagai aset Pemkot Baubau, kecuali beberapa properti, seperti WC umum, papan panjat tebing, dll. Hal ini dilakukan Zainal agar gugatan yang diajukan tidak kurang pihak (plurium litis consortium), yang potensial ditolak oleh hakim.

“Fakta ini juga bisa menjadi pintu masuk bagi APH untuk mengungkap dugaan korupsi dalam pembuatan beberapa properti di lahan tersebut, karena itu belanja modal,” tegas Zainal.

Saat Pemkot Baubau meminjam lahan tersebut, lanjut Zainal, memang sedang terjadi pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Negeri Baubau, dalam proyek pembuatan rumah sisipan diatas lahan tersebut, oleh Jufri dan LSM Pendamping. Jufri dkk kemudian terbukti korupsi sehingga dihukum penjara.

“Saya yang mendesak Aspidsus Kejari Baubau untuk menjemput Jufri di persembunyiannya di Warakas, setelah buron bertahun-tahun (in absentia) untuk menjalani hukuman di Lapas Kendari,” bebernya.

Zainal mengakui bahwa memang baru 2 sertifikat tanah yang diterbitkan, dari rencana 7 sertifikat tanah, sesuai jumlah ahli waris Daeng Ahmad, karena keterbatasan dana yang dimilikinya, disebabkan saat itu Zainal sedang mempersiapkan diri maju dalam Pemilu sebagai Calon Anggota DPD RI. Juga karena ada permintaan La Haruna (staf Pemkot Baubau saat itu, sekarang menjabat Asisten III Pemprov Sultra), yang diutus Walikota AS Tamrin.

“Pak La Haruna menyampaikan agar saya menunda proses sertifikasi sebagian lahan yang terlanjur dibangun beberapa properti, untuk diputihkan, sebelum diserahkan sepenuhnya kepada kami,” beber Zainal.

“Pernyataan Muslimin itu ibarat kaset rusak yang diputar berulang-ulang, sehingga suaranya kian sumbang,” tegas Zainal, mantan Koordinator Presidium KAHMI Kota Baubau 2 periode.

Tak berhenti disitu, Zainal lantas mengungkapkan, bahwa argumentasi Muslimin sebelumnya juga sudah pernah diungkapkan pihak Pemkot Baubau dalam surat yang ditandatangani Amsir Afie selaku Plh Sekda Baubau, kepada pihak BPN Baubau, untuk menunda penerbitan sertifikat yang dimohonkan ahli waris Daeng Ahmad. Hal itu juga termuat dalam berita acara penolakan oleh Muslimin yang saat itu masih selaku Lurah Kaisabu Baru, tetapi diabaikan pihak BPN Baubau karena mengetahui bahwa itu hanyalah “omon-omon”, karena tidak ada tanah adat di Samparona, seperti klaim Muslimin.

“Itu karangan bebas dia aja, coba tanya dimana batas-batas tanah adat itu. Hanya lahan milik Daeng Ahmad, atau termasuk milik Kasim Siruhu, Frans, Waode Maharani, Pesantren, dll yang sudah bersertifikat. Kenapa Pemkot Baubau tidak klaim seluruhnya, termasuk 2 bidang lahan kami yang sudah bersertifikat?,” tanya Zainal.

Menurut Zainal, jika keterangan Muslimin sama dengan keterangan Arianto dihadapan penyelidik Polres Baubau, maka cukup dasar bagi penyelidik menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan, karena unsur pidananya sudah seterang matahari.

Zainal yang sudah mengagendakan untuk segera bertemu penyidik guna meminta gelar perkara, menyatakan akan segera menyurat kepada Walikota  dan Ketua DPRD Baubau, agar serius menyikapi banyaknya kasus-kasus tanah dilingkup Pemkot Baubau. Termasuk dugaan pengadaan tanah fiktif oleh Pemkot Baubau yang ia temukan dalam investigasinya bersama koalisi masyarakat sipil, akibat maraknya mafia tanah di Baubau, yang diduga melibatkan oknum aparatur Pemkot Baubau dan oknum aparatur BPN Baubau.

“Penting bagi saya untuk mendengar sikap Pemkot Baubau, sebelum saya membawa kasus ini ke instansi terkait di Provinsi dan Pusat,” tutup mantan anggota DPRD Baubau ini.  (Redaksi)

Komentar