Perang Buton dan Kepahlawanan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa yi Ko) Menentang VOC/Belanda

Monumen Juang Sultan Himayatuddin.

Oleh: La Ode Abdul Munafi

 

Engkau telah mendharmakan segalanya, tahtamu, jiwa ragamu, anggota keluarga yang amat kau cintai. Semua menjadi martir bagi tegaknya kedaulatan bangsamu.
Heroismemu menentang penjajah, telah mementahkan stigmatisasi sejarah yang kerap menyudutkan bangsamu, dengan menyebutnya sekutu abadi penjajah.

 

Untaian kalimat diatas merupakan refleksi atas kepahlawanan seorang tokoh legendaris Buton. Dialah, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, juga bergelar Oputa yi Ko (Sultan yang memimpin perang gerilya di hutan), Sultan Buton ke-20 (1750-1752) dan ke-23 (1760-1763).

Selama dua periode pemerintahannya, bahkan ketika tidak lagi menjabat sebagai Sultan hingga wafatnya, Buton berada dalam suasana konflik bersenjata dengan VOC/Belanda. Dialah penyebab meletusnya perang Buton. Dan, dia pula simbol dari kepahlawanan rakyat Buton menentang VOC/Belanda.

Salah satu identifikasi bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Siapakah yang disebut pahlawan?. Singkatnya, pahlawan adalah orang yang melampaui dirinya. Pahlawan adalah orang (sudah alm) yang menonjol dalam lingkungan sosialnya, karena keberanian dan pengorbanannya membela kebenaran. Mereka adalah aktor sejarah yang menjadi orientasi atau panutan, karena nilai-nilai perjuangannya dapat memberi inspirasi bagi masyarakat dan bangsanya. Merekalah salah satu faktor penggerak utama sejarah.

Tulisan ini dimuat sebagai salah satu chapter dalam buku berjudul: Buton dalam Lintasan Sejarah, Warisan Budaya, dan Perubahan Sosial, diterbitkan UHO Press, 2022, hal. 75-93.

Dalam spektrum seperti itulah, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi memperoleh tempat dalam ingatan kolektif masyarakat Buton. Kegigihannya menentang pendudukan VOC/Belanda di Buton tidak saja masih diingat, tetapi juga tertanam, bahkan terus hidup dalam sanubari rakyat. Nama besarnya yang dimonumentalkan menjadi nama sejumlah sarana publik di Buton, dewasa ini merupakan refleksi penghormatan rakyat akan jasa-jasanya. Kegigihannya dalam mempertahankan kedaulatan dan kehormatan bangsanya dari penindasan VOC/Belanda ± 3 abad silam, telah menorehkan tinta emas sejarah.

Atas kepahlawanannya, maka melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 120/TK/2019, tanggal 7 Nopember 2019, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.


Siapakah Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi?

Himayatuddin Muhammad Saidi, atau bernama lengkap, Himayatuddin Muhammad Saidi Bin Sulthani Liyauddin Ismail Muhammad Saidi, yang memiliki nama kecil La Karambau, dan kelak dimasa perang gerilya melawan VOC/Belanda, memperoleh gelar dari rakyat melalui sebutan Oputa yi Ko (Sultan yang memimpin perang gerilya di hutan), adalah putra Sultan Buton ke-13; Liyauddin Ismail Muhammad Saidi, juga bergelar Oputa Sangia yi Kopea.

Tidak diperoleh informasi siapa nama ibu Himayatuddin. Ia merupakan cucu dari seorang kapitalau ternama, bergelar Gogoli I Mbela-Mbela. Sedangkan, neneknya bernama Wa Ode Kontu. Yang disebut terakhir adalah putri Sultan Buton ke-5, Abdul Wahab (Anonim, 2008:37).

Himayatuddin Muhammad Saidi dilahirkan pada permulaan abad ke-18 di Benteng Keraton Wolio, ibukota Kesultanan Buton. Dalam struktur keluarga, ia merupakan anak ke-3 dari 12 orang bersaudara, yakni: (1) La Ibi, Sultan Buton ke-17, bergelar Sultan Nashiruddin; (2) Kapitalau Kamaru; (3) Himayatuddin Muhammad Saidi, Sultan Buton ke-20 dan ke-23; (4) Lakina Lakudo; (5) Lakina Laompo; (6) Lakina Kamaru; (7) Lakina Agama; (8) Wa Ode Angka; (9) Paapana La Ode Maeta; (10) Paapana Wa Ode Daeta; (11) Paapana Hatibi Tumada; dan (12) Wa Ode Tumada (Anonim, 2008:37).

Himayatuddin Muhammad Saidi menikah dengan putri Sultan Buton ke-19, Tsaqiuddin Darul Alam, juga bergelar Oputa Sangia. Dari perkawinan tersebut lahir tiga orang putra dan seorang putri, yakni: Kapitalau Lawele, La Ode Harikiama, La Ode Pepago, dan Wa Ode Wa Kato (Zahari, 1977). Kelak, dalam perang melawan tentara VOC/Belanda di Keraton Buton, Wa Ode Wa Kato dan Wa Ode Kamali, putri dan cucu Himayatuddin yang masih belia itu menjadi sandra VOC/Belanda. Dalam memori kolektif masyarakat Buton, keduanya dikenang sebagai mia yi lingkaakana Walanda (orang yang dibawah pergi Belanda).

Karir Himayatuddin dalam pemerintahan Kesultanan Buton diawali dengan pengangkatannya sebagai Lakina Kambowa (kepala pemerintahan daerah untuk wilayah Kambowa). Keberhasilannya menjadi Lakina Kambowa, mengantarkannya menduduki jabatan sebagai Kapitalau Matana Eo (Panglima Perang wilayah Timur Kesultanan Buton). Selama memangku jabatan sebagai Kapitalau Matana Eo, ia memprakarsai pembangunan benteng-benteng pertahanan disejumlah wilayah strategis Kesultanan Buton.

Selanjutnya, jabatan sebagai Kapitalau Matana Eo ia lepaskan, menyusul penobatannya sebagai Sultan Buton. Ia dinobatkan menjadi Sultan Buton ke-20 pada 1750 menggantikan ayah mertuanya, Sultan Tsakiyuddin Darul Alam (Oputa Sangia).

Sejarah mencatat, dari 37 orang Sultan Buton yang memerintah selama 38 periode pemerintahan, berlangsung ±4 abad (1541-1960), Himayatuddin lah satu-satunya sultan yang menjabat dua kali, sebagai sultan ke-20 (1750-1752) dan sultan ke-23 (1760-1763). Ciri menonjol dalam dua era pemerintahannya, bahkan setelah tidak menjabat lagi sebagai Sultan, hingga wafatnya, adalah konflik dan peperangan yang dikobarkannya terhadap VOC/Belanda.


Perang Buton

Waar de jongst oorlog ekspeditie naar Bouton onder het gezaag van den Macassar militerende Captain Rijsweber….”

Ekspedisi perang yang mutakhir adalah ke Buton dibawah kewenangan Kapten Rijsweber dari kemiliteran di Makassar….”

Kutipan diatas merupakan penggalan catatan pada salah satu arsip VOC (pada koleksi Arsip Makassar), Nomor Inventaris 73, Tahun 1755-1756 (Zuhdi dan Muslimin AR Efendy, 2015:53). Dari penggalan catatan tersebut diperoleh keterangan, bahwa pada 1755, VOC/Belanda melakukan ekspedisi perang ke Buton dibawah pimpinan Kapten Rijsweber, seorang perwira dari resimen kemiliteran VOC/Belanda di Makassar. Menghadapi ekspedisi perang VOC tersebut, rakyat Buton, dibawah komando Himayatuddin, bangkit melakukan perlawanan. Dan, meletuslah Perang Buton yang mengenaskan.

Kebanyakan kita mungkin akan heran, bagaimana mungkin terjadi perang antara Buton vs VOC/Belanda, bukankah dalam sejumlah karya historiografi, keduanya diposisikan sebagai “sekutu”, bahkan “sekutu abadi” (Schoorl, 2003). Karena konstruksi dalam historiografi yang memposisikan keduanya sebagai sekutu, maka dalam sejumlah karya historiografi, Buton kerap disudutkan sebagai “pengkhianat”?.

Inilah stigmatisasi sejarah yang dicitrakan pada Buton dalam konteks hubungannya dengan VOC/Belanda. Namun, sejarah seperti dikemukakan Leopold von Ranke (Zuhdi dan Muslimin AR Efendy, 2015:53) adalah apa yang sesungguhnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi. Mengacu pada tesis Leopold von Ranke, maka dalam realitas hubungan Buton–VOC/Belanda adalah pernah terjadi peristiwa perang, sebuah peristiwa yang sebelumnya tidak cukup dirangkum dalam historiografi. Logika sejarah tidak dapat digunakan, misalnya dengan menyatakan, karena adanya persekutuan, maka tidak mungkin terjadi perang. Konstatasi seperti ini merupakan pola pikir yang menempatkan sejarah sebagai yang seharusnya terjadi, bukan apa yang sesungguhnya terjadi.

Guna memahami dinamika hubungan Buton–VOC/Belanda, informasi sebagaimana termuat dalam arsip VOC/Belanda tersebut diatas, menarik untuk ditelaah. Ekspedisi militer VOC/Belanda disejumlah daerah di Nusantara dilakukan.

Stigmatisasi sejarah seperti ini belum terhapus sepenuhnya. Dalam Simposium Internasional MANASSA 2005 di Baubau-Buton, ketika seorang pembicara dari Universitas Leiden mempresentasikan makalah berjudul Surat-Surat Sultan Buton kepada Kompeni Belanda, seorang peserta, yang juga seorang sejarawan dari sebuah universitas terkemuka di Indonesia, dengan spontan mengatakan “kalau begitu, Buton pengkhianat”.

Melalui tiga bentuk ekspedisi, yaitu: (i) oproerier, ekspedisi militer untuk menghadapi perusuh, (ii) opstander, ekspedisi militer untuk menghadapi pemberontak, dan (iii) oorlog, ekpedisi militer untuk perang (Zuhdi dan AR Muslimin Effendi, 2013). Dalam arsip VOC/Belanda diatas, ekspedisi militer VOC/Belanda ke Buton pada 1755 dicatat sebagai oorlog, yakni sebuah ekspedisi militer untuk perang. Dalam konteks ekspedisi militer, oorlog lebih tinggi tingkatannya dibanding oproerier maupun opstander. Karena itu dapat dipahami bahwa ekspedisi militer VOC/Belanda ke Buton pada 1755 bukanlah sebuah ekspedisi militer untuk menghadapi perusuh (oproerier) atau pemberontak (opstander), melainkan sebuah ekspedisi perang, memerangi Buton sebagai bangsa yang berdaulat.

Tingkat perhatian VOC/Belanda terhadap ekspedisi perangnya ke Buton juga tercatat dalam sebuah arsip tentang rekening (requening van het ten behofen der exspeditie naar Bouton). Dalam arsip yang dibuat di Makassar pada 30 Mei 1755 itu, tercatat biaya ekspedisi perang VOC/Belanda ke Buton. Dalam ekpedisi perang tersebut, VOC/Belanda mengeluarkan anggaran sebesar 108,191⁄2 rijksdaalders.

Selain itu juga tercatat komposisi satuan militer VOC/Belanda yang dikerahkan dalam ekspedisi perang ke Buton itu, terdiri atas: 1 orang berpangkat kapten, 4 sersan, 4 kopral, 4 penabuh tambur dan peniup trompet, serta 140 serdadu. Kecuali itu, juga tercatat biaya untuk keperluan konsumsi pasukan, termasuk biaya minuman arak, serta kebutuhan pendukung lainnya (Zuhdi dan AR. Muslimin Effendi, 2015).

Ligtvoet (dalam Schoorl, 2003) menulis bahwa dalam ekspedisi perangnya ke Buton, VOC menghadapi perlawanan semesta rakyat Buton. Sejumlah ±5000 laskar rakyat siap menyongsong dan kemudian benar-benar berperang melawan militer VOC. Perlawanan rakyat Buton itu layaknya tindakan bela-negara yang dikomandoi Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi.


Sebab Perang

Kehadiran VOC/Belanda di Buton sejak 1613, memberi warna tersendiri bagi dinamika sejarah Buton, setidaknya pada dua hal: (1) sebagai sekutu bagi Buton dalam menghadapi ancaman kekuatan-kekuatan lain disekitarnya, dan (2) sebagai seteru, karena VOC/Belanda menjadi sumber ancaman kedaulatan Buton (Zuhdi dan AR. Muslimin Effendi, 2013). Posisi VOC sebagai seteru Buton inilah yang mengejawantah sejak Himayatuddin Muhammad Saidi naik tahta menjadi sultan. Karena itu, pernyataan persekutuan Buton–VOC sebagai ikatan persekutuan yang abadi sebagaimana konstruksi historiografi selama ini, menjadi tidak relevan (Munafi, 2017).

Sebagai penerus para sultan sebelumnya, Himayatuddin tidak dapat melepaskan diri dari keharusan mengimplementasikan butir-butir perjanjian Buton–VOC/Belanda, yang telah ditandatangani sebelumnya. Perjanjian awal antara Buton dengan VOC/Belanda ditandatangani pada 5 Januari 1613, oleh Sultan Buton ke-4, Dayanu Ikhsanuddin, dengan Apollonius Schotte, atas nama VOC/Belanda. Isi perjanjian tersebut mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk saling membantu menghadapi musuh-musuhnya. Bagi Buton, perjanjian tersebut kemudian menjadi pegangan para Sultan, selanjutnya dalam berhubungan dengan VOC/Belanda, berlandaskan prinsip kesetaraan dan menguntungkan kedua belah pihak.

Perjanjian dalam bentuk kontrak yang kemudian memperlihatkan dominasi VOC/Belanda, ditandatangani pada 1667. Kontrak yang ditandatangani Sultan Buton ke-10, Adilil Rakhim dengan Cornelis Speelman selaku wakil VOC/Belanda itu, memuat sejumlah pasal yang memberatkan Buton, meliputi: (i) keharusan bagi Buton untuk menghancurkan tanaman rempah-rempah diseluruh wilayah kekuasaannya, (ii) kewajiban Buton untuk menerima, dan selanjutnya menjalin persekutuan dengan pihak-pihak yang dianggap sebagai sekutu VOC/Belanda, (iii) larangan bagi Buton untuk mengadakan kerjasama dengan pihak-pihak yang dianggap sebagai musuh VOC/Belanda, (iv) kewajiban Buton untuk melaporkan setiap pergantian Sultan kepada VOC/Belanda, (iv) kebebasan VOC/Belanda untuk melakukan sesuatu pekerjaan dalam wilayah Kesultanan Buton, disertai keharusan bagi pejabat Kesultanan untuk menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan dalam pekerjaan tersebut, (v) kewajiban Buton untuk menangkap orang-orang VOC/Belanda diwilayah yurisdiksinya, yang dinyatakan bersalah oleh VOC/Belanda, dan (vi) hukuman bagi orang Buton yang menghina pejabat VOC/Belanda (Zuhdi dan AR. Muslimin Effendi, 2013).

Kontrak tersebut diatas, ditandatangani sebagai kompensasi kepada VOC/Belanda yang telah membantu Buton menggagalkan agresi militer Goa. Agresi militer Goa bersebab dari sikap politik Buton yang memberikan suaka politik kepada Arung Palakka, tokoh perlawanan rakyat Bugis yang dianggap sebagai musuh Kerajaan Goa. Kontrak yang ditandatangani pada 1667 itu selanjutnya menjadi pegangan yang wajib dipatuhi Buton dalam berhubungan dengan VOC/Belanda (Anonim, 2008).

Ketika Himayatuddin naik tahta menjadi Sultan Buton ke-20 pada 1772, ketentuan dalam kontrak-kontrak yang telah ditandatangani sebelumnya, tidak diindahkan lagi. Sultan Himayatuddin menilai kontrak-kontrak tersebut sebagai upaya sistematis VOC/Belanda untuk menguasai Buton. Maka, ikatan kerjasama Buton-VOC yang telah berjalan sebelumnya dibatalkannya secara sepihak (Anonim, 2008).

Tampilnya Himayatuddin sebagai Sultan yang secara sepihak memutus mata rantai kontrak-kontrak yang membelenggu Buton itu, mengakibatkan hubungan Buton-VOC/Belanda selama masa pemerintahannya, berada pada titik terendah. Sikap tegas Sultan Himayatuddin yang tidak bersedia tunduk pada VOC/Belanda, menjadi sebab meletusnya perang Buton. Ligtvoet (dalam, Schoorl, 2003) menulis bahwa dimasa pemerintahan Sultan Himayatuddin, telah terjadi sesuatu yang menempatkan Buton benar-benar berada pada kondisi sulit, karena perselisihannya dengan VOC/Belanda. Sikap tegas Sultan Himayatuddin berakibat pada ketegangan hubungan diplomatik Buton-VOC/Belanda.

Suatu peristiwa yang kemudian menjadi sebab langsung meletusnya perang Buton adalah perompakan dan penenggelaman kapal Rust en Werk milik VOC/Belanda, yang tengah berlabuh di pelabuhan Baubau. Tindakan itu dilakukan seorang narapidana bekas juru bahasa Belanda di Bone, bernama Frans Fransz bersama sejumlah pengikutnya. Diriwayatkan, ketika kapal Rust en Werk berlabuh di pelabuhan Baubau, Sultan Himayatuddin memerintahkan petugas pelabuhan (Sabandara) untuk menarik pajak labuh kapal tersebut. Oleh awak Rust en Werk, tindakan Sultan Buton itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam perhubungan Buton–VOC/Belanda sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan pertikaian antara petugas pelabuhan dengan awak Rust en Werk.

Kapal yang seharusnya akan melanjutkan pelayaran ke Maluku itu, akhirnya tertahan di pelabuhan Baubau. Frans Fransz cs yang juga tengah berlabuh di pelabuhan Baubau, memanfaatkan kemelut itu dengan menyerang awak Rust en Werk, merampok muatan kapal, kemudian melarikan diri ke Kobaena (Anonim, 2008).

Atas tragedi yang menimpa kapal Rust en Werk, VOC/Belanda kemudian menimpakan kesalahan pada Buton. Sultan Himayatuddin yang berkuasa waktu itu dianggap bertanggungjawab, karena tidak memberi perlindungan pada kapal tersebut. Lebih dari itu, VOC/Belanda mencurigai Sultan Himayatuddin berada dibalik skenario penyerangan kapal tersebut.

Sebagai konsekuensi atas peristiwa yang menimpa kapal Rust en Werk, VOC/Belanda mengajukan tuntutan ganti-rugi pada Buton, berupa keharusan Buton menyerahkan 1000 budak (tenaga kerja) kepada VOC/Belanda, dalam kurun satu tahun. Tuntutan VOC/Belanda itu ditolak Sultan Himayatuddin dengan alasan bahwa pelaku penyerangan kapal Rust en Werk adalah orang berkebangsaan Eropa, sehingga Buton tidak merasa perlu memikul tanggungjawab.

Sikap tegas Sultan Himayatuddin itu kemudian berakibat pada ketegangan hubungan diplomatik Buton-VOC/Belanda. Atas sikap tegas Sultan Himayatuddin, VOC/Belanda memberi ultimatum, jika tuntutan ganti-rugi tidak diindahkan, maka Buton akan diserang.

Mempertimbangkan kemungkinan serangan militer VOC/Belanda, maka dalam musyawarah Dewan Kesultanan, disepakati untuk memakzulkan Himayatuddin dari jabatannya sebagai Sultan. Keputusan itu diambil guna menghindarkan Buton dari kemungkinan serangan militer VOC/Belanda, jika Himayatuddin tetap menjabat sebagai Sultan. Maka, sebagai pengganti Himayatuddin, diangkatlah Hamim Tsakiyuddin Darul Alam yang juga adik ipar Himayatuddin, sebagai Sultan Buton ke-21.

Penggantian Himayatuddin dari jabatan Sultan rupanya tidak meredam tuntutan VOC/Belanda  atas ganti-rugi kapal Rust en Werk. Kewajiban yang dibebankan pada Buton untuk menyerahkan 1000 budak (tenaga kerja), tetap dipaksakan. Namun, sebagaimana Himayatuddin, Sultan Hamim yang berkuasa saat itu, dengan sokongan penuh Himayatuddin, menolak keras tuntutan VOC/Belanda itu.

Sebagai wujud keseriusan VOC/Belanda terhadap penyelesaian tuntutan ganti-rugi Kapal Rust en Werk, maka pada awal Januari 1755, seorang perwira militer VOC/Belanda, bernama Kapten Rijsweber, ditugaskan ke Buton. Rijsweber membawah pesan penguasa VOC/Belanda di Makassar, untuk mengingatkan Buton atas konsekuensi yang bakal ditimpakan VOC/Belanda, bila Sultan tidak segera merealisir tututan ganti-rugi yang diajukan VOC/Belanda.

Buton juga diminta agar segera mengirim utusan ke Makassar, guna membaharui kontrak atas tragedi yang menimpa kapal Rust en Werk. Namun, hingga Rijsweber meninggalkan Buton, Sultan Hamim Tsakiyuddin yang didukung penuh Himayatuddin, tetap bersikukuh tidak mematuhi tuntutan VOC/Belanda. Sultan Hamim malah menjalin komunikasi dengan Raja Bone dan Ternate, untuk memperoleh dukungan penyelesaian atas tragedi Rust en Werk (MvO Blok 278, dalam Zuhdi dan Muslimin AR. Effendy, 2015:78). Demikianlah, karena tuntutan tidak diindahkan, VOC/Belanda akhirnya mengirim ekspedisi perang ke Buton.

Sebagai sesuatu yang dianggap penting bagi VOC/Belanda, ekspedisi perang itu dicatat dalam arsip VOC/Belanda:

Goedvinden van den heena goeverneur zoude gestraft worden en de boetonders die door de soldaten en matroosen gerooft waaren zijn.

Gubernur VOC/Belanda di Makassar telah setuju untuk menghukum orang-orang Buton, karena telah merampas serdadu dan awak kapal (Rust en Werk). (Zuhdi dan Muslimin AR. Effendy, 2015:76).

Selanjutnya, hal yang dianggap sebagai pembenaran bagi VOC/Belanda dalam melakukan ekspedisi perang ke Buton, juga dicatat dalam arsip VOC/Belanda:

Het Boutonse rijk sig onwillig toonde om waderom nieuwe concraten tekomen maken wijl zij de ounde …. verbroken hadde.

Kerajaan Buton tidak berniat untuk memperbarui kontrak, sehingga (kontrak) yang lama telah hancur. (Zuhdi dan Muslimin AR. Effendy, 2015:76).

Sumber (arsip) VOC/Belanda seperti tersebut diatas, memperlihatkan sikap tegas Buton yang tidak lagi mematuhi perjanjian dengan VOC/Belanda. Dan atas dasar itulah, VOC/Belanda merasa memiliki cukup alasan untuk memerangi Buton, sebagaimana tercatat dalam arsip VOC/Belanda, war van de jongste oorlog expeditie naar Bouton (dimana suatu ekspedisi perang yang terbaru dikirim ke Buton), (Zuhdi dan Muslimin AR. Effendy, 2015:76). Penggalan catatan yang bersifat laporan tersebut, menunjukkan bahwa telah terjadi perang antara Buton vs VOC/Belanda.

Untuk mendukung ekspedisi perangnya ke Buton, pada 19 Pebruari 1755, Kapten Rijsweber bersama pasukannya, atas perintah langsung penguasa VOC/Belanda di Makassar, kemudian berangkat ke Buton melalui pelabuhan Bulukumba. Dalam ekspedisi perang itu, VOC/Belanda mengerahkan tujuh buah kapal perang, masing-masing: Huis te Henpad, de Paari (chalorp), Gligis (pancallang), Triston (pancallang), de Meermin (chalorp), het Fortuin (chalorp), dan de Arnoldina (chalorp). Kapal de Paarl tiba lebih dahulu di Buton, sedang kapal-kapal lainnya tiba pada 23 Pebruari 1755. Setelah kapal-kapal perang tersebut tiba di Buton, dilepaskanlah tembakan penghormatan (saluutschoten), namun tidak mendapat balasan dari darat (pihak Buton) (Zahari, 1977).

Dalam ekspedisi perangnya ke Buton, VOC/Belanda menghadapi perlawanan rakyat Buton. Ligtvoet (dalam, Schoorl, 2003) menulis bahwa angkatan perang VOC/Belanda yang dikerahkan menggempur Buton itu, berhadapan ±5000 laskar kesultanan. Dalam catatan hariannya, Kapten Rijsweber melaporkan:

Saya (baca: Rijsweber) melihat orang Buton saat itu tidak seperti biasanya. Saya menyaksikan dari wilayah pesisir hingga diperbukitan, telah dipasangi pagar runcing yang terbuat dari batang pohon kelapa (Zuhdi dan AR Muslimin Efendy, 2015).

Apa yang disaksikan Rijsweber adalah kesiap-siagaan rakyat Buton menghadapi perang yang genderangnya tinggal menunggu waktu untuk ditabuh. Dan, keesokan harinya, pada dinihari 24 Pebruari 1755, pasukan VOC/Belanda memulai penyerangan. Maka, meletuslah Perang Buton.


Jalannya Perang

Meletusnya perang Buton diawali penyerangan pasukan VOC/Belanda pada dinihari, 24 Pebruari 1755. Dalam serangan dipagi buta itu, barikade laskar Kesultanan yang disiagakan di kawasan pesisir, melakukan perlawanan sengit. Cakrawala pagi yang baru saja merekah, diwarnai dentuman bedil dari kapal-kapal perang VOC/Belanda. Karena persejantaan yang tidak seimbang, titik demi titik pertahanan laskar Kesultanan dilumpuhkan pasukan infantri VOC/Belanda, yang terus mendekati kawasan Benteng Keraton Wolio, ibukota Kesultanan Buton.

Dari arah benteng, pasukan VOC/Belanda dihadang Himayatuddin bersama Kapitalau La Ode Sungkuabuso, yang memimpin langsung barisan prajurit pengawal keraton. Karena persenjataan yang tidak seimbang, pintu gerbang benteng akhirnya bobol, menyusul gugurnya barisan prajurit pengawal keraton, termasuk Kapitalau La Ode Sungkuabuso. Dalam memori kolektif masyarakat Buton, Kapitalau yang gagah berani itu dikenang dengan ungkapan Kapitlau yi tembana Walanda (Kapitalau yang ditembak Belanda). Selain Kapitalau, juga gugur sejumlah pejabat tinggi Kesultanan, Sapati, Bonto Ogena, serta sejumlah Bobato dan Bonto (Anonim, 2008).

Menyusul bobolnya pintu gerbang Benteng Keraton Wolio, maka leluasalah pasukan infantri VOC/Belanda, yang bersenjata lengkap, mengobrak-abrik ibukota Kesultanan Buton. Maka, pada hari itu, Keraton Kesultanan Buton menyambut datangnya pagi dengan rentetan bunyi tembakan, kepulan asap mesiu, darah bersimbah, serta mayat yang bergelimpangan. Jerit tangis ibu-ibu dan anak-anak yang dicekam ketakutan, membahana di mana-mana. Sastrawan Buton, Haji La Ode Abdul Ganiyu (Kenepulu Bula) (dalam Anonim, 2008:84) mengabadikan peristiwa tersebut dalam Kabanti Ajonga Yinda Malusa (Syair pakaian yang tiada luntur), sebagai berikut:

Yinda urangoa tongko bunkena Walanda : Tidakkah engkau mendengar sewaktu keributan Belanda

Apopasiki sabhara maanusia: Berhamburan semua manusia

Sumbe-sumbere apeelo palaiya: Masing-masing mencari perlindungan

Apobholi-bohli yinda apotoku-toku: Bercerai-berai tidak saling menolong

Hengga ana-ana miarangana abholia: Sampai anak istri ditinggalkan

Inuncana koo maka apokawa-kawa: Di dalam hutan baru berkumpul

Mokokompona akoana yi rumpu: Ibu hamil melahirkan di rerumputan

Momapiyna soakolemo yitana: Yang sakit tertidur saja di tanah

Bhontoogena samia te sapati: Menteri besar seorang dan sapati

Te samia kapitalau amate: Dan kapitalau mati.

Syair di atas dengan cermat merekam peristiwa berdarah penyerbuan militer VOC/Belanda ke ibukota Kesultanan Buton. Peristiwa tersebut merupakan fakta historis yang telah menorehkan luka dan kepedihan yang mendalam bagi rakyat Buton. Peristiwa inilah yang disebut Haji La Ode Abdul Ganiyu (Kenepulu Bula) dalam syair yang ditulisnya sebagai zamani kaheruna walanda (jaman huru-hara Belanda) (Anonim, 2008:84).

Ditengah suasana kepanikan itu, Himayatuddin terus mengomandokan perlawanan dengan mengobarkan semangat jihat fisabilillah. Taewa (kita melawan), demikian komando sang Panglima perlawanan itu. Pertempuran terus berkecamuk, peluru dimuntahkan dari moncong-moncong senjata serdadu VOC/Belanda, pertarungan fisik berhadap-hadapan terjadi, dan jeritan para korban yang diterjang peluru membahana di mana-mana. Istana Himayatuddin menjadi pusat pertahanan terakhir laskar pengawal ibukota Kesultanan.

Menyadari situasi yang mengancam keselamatan Sultan Hamim, Himayatuddin kemudian meminta agar Sultan mengungsi ke Benteng Sora Wolio, sebuah benteng pertahanan yang terletak di seberang Sungai Baubau. Sementara, ia dan sisa laskar Kesultanan terus melakukan perlawanan guna mempertahankan ibukota Kesultanan.

Setelah melalui pertempuran sengit sehari penuh dengan persenjataan yang tidak seimbang, menjelang sore hari, Istana Himayatuddin dikuasai tentara VOC/Belanda. Maka, ibukota Kesultanan pun jatuh dalam pendudukan militer VOC/Belanda. Himayatuddin kemudian mengarahkan sisa laskar Kesultanan untuk mundur ke Wasinabauy, sebuah kawasan hutan yang terletak ± 3 km arah tenggara ibukota Kesultanan. Di tempat itulah, Himayatuddin mengorganisir kembali laskar Kesultanan guna melakukan serangan balasan pada tentara VOC/Belanda. Mundurnya Himayatuddin dari ibu kota Kesultanan itu menjadi awal periode perang gerilya rakyat Buton melawan VOC/Belanda.

Akibat ekpedisi perang yang dilancarkan ke Benteng Keraton Wolio, ibukota Kesultanan Buton pada 24 Pebruari 1755 itu, VOC/Belanda mengalami kerugian, dengan tewasnya sejumlah serdadu, 39 di antaranya dinyatakan hilang, dan 36 lainnya luka-luka. Sementara, dipihak Buton, selain gugurnya rakyat dansejumlah petinggi Kesultanan, putri dan cucu Himayatuddin yang masih belia (Wa Ode Wa Kato dan Wa Ode Kamali) menjadi sandera, yang selanjutnya dibawah pergi VOC/Belanda.

Dalam memori kolektif m asyarakat Buton, kedua anak ini dikenang dalam ungkapan mia yi lingkaakana Walanda (Orang yang dibawah pergi Belanda).


Perang Gerilya

Pasca pendudukan ibukota Kesultanan Buton oleh angkatan perang VOC/Belanda pada 24 Pebruari 1755, Himayatuddin memimpin perlawanan laskar Kesultanan melalui strategi perang gerilya. Hingga kini, rute perlawanan gerilya Sultan Himayatuddin dalam perang melawan VOC/Belanda masih dapat ditelusuri jejaknya, baik berdasarkan tinggalan artefak, maupun ingatan kolektif masyarakat.

Setelah Benteng Keraton Wolio, ibukota Kesultanan Buton, jatuh dalam pendudukan militer VOC/Belanda, Himayatuddin mengarahkan laskar Kesultanan menyingkir ke Wasinabuy, sebuah kawasan hutan belantara yang terletak ± 3 km arah tenggara ibukota Kesultanan. Saat Himayatuddin dan sisa laskar Kesultanan meninggalkan Benteng Keraton Wolio, pasukan VOC/Belanda melakukan pengejaran, namun berhenti karena tibanya malam. Di Wasinabuy, Himayatuddin melakukan konsolidasi dengan kadie-kadie melalui sejumlah perutusan yang diberangkatkan malam itu juga. Setiap kadie diinstruksikan menyiapkan pasukan guna memukul mundur tentara VOC/Belanda.

Diriwayatkan bahwa setelah semalam berada di Wasinabuy, maka keesokan harinya, Himayatuddin memimpin laskar Kesultanan menuju Lakasuba. Pergerakan pasukan menuju Lakasuba dimaksudkan untuk memancing pasukan VOC/Belanda dalam front pertempuran terbuka di tempat itu. Namun, VOC/Belanda yang mencium strategi penyergapan pasukan Himayatuddin, akhirnya mengurungkan niat ke Lakasuba.

Selama berada di Lakasuba, jumlah laskar yang mengikuti Himayatuddin bertambah dengan bergabungnya laskar-laskar dari sejumlah kadie. Di Lakasuba, Himayatuddin menyusun taktik perang gerilya dengan menetapkan Gunung Siontapina sebagai basis pertahanan.

Setelah mematangkan taktik perang gerilya, dari Lakasuba, pasukan Himayatuddin bergerak ke Wakaokili. Di tempat ini, ia membentuk pasukan reaksi cepat yang berkedudukan pada enam wilayah, yaitu: Kaluku Talu Puuna, Labundo-Bundo, Kopea, Lasembangi, Tira-Tira, dan Wasuamba. Selain untuk melakukan penyergapan terhadap tentara VOC/Belanda, pasukan ini juga bertugas mengamankan lahan-lahan pertanian rakyat, sebagai cadangan logistik (kampiri) bagi pasukan gerilya.

Selanjutnya, dari Wakaokili, Himayatuddin bersama pasukan bergerak ke Wasaga, kemudian Kumbewaha, Labuandiri, Wasuamba, hingga akhirnya tiba di Gunung Siontapina. Gunung Siontapina inilah yang kemudian ditetapkan sebagai basis perlawanan. Di tempat ini dibangun benteng pertahanan.

Selama berada di Gunung Siontapina, berkali-kali ekspedisi penyerangan dilakukan tentara VOC/Belanda guna memadamkan perlawanan pasukan gerilya Himayatuddin. Meskipun demikian, upaya yang dilakukan VOC/Belanda, selalu gagal. Selain karena medan Siontapina yang terjal dan berhutan lebat, kegagalan pasukan VOC/Belanda itu juga disebabkan kesigapan rakyat di sejumlah wilayah yang dilalui pasukan VOC/Belanda. Mereka melakukan perlawanan sebelum pasukan VOC/Belanda memasuki kawasan Gunung Siontapina.

Dari puncak Gunung Siontapina itulah, seruan jihat fisabilillah dikomandokan Himayatuddin kepada seluruh komponen rakyat. Untuk memantapkan taktik perang gerilya, Himayatuddin juga membuat sebuah sandi yang disebut sambo-samboakea (harafiah: “menyoraki”) ketika ada pasukan VOC/Belanda melintasi suatu wilayah. Kecuali itu juga dibentuk sejumlah detasemen yang bertugas melakukan penyergapan terhadap kapal-kapal VOC/Belanda yang melintas di pesisir timur Buton. Detasemen tersebut meliputi empat wilayah, yakni: Lasalimu, Kamaru, Pasarwajo, dan Sampolawa.

Dalam masa memimpin perang gerilya, pada waktu-waktu tertentu yang dirahasiakan, Himayatuddin datang menemui Sutan Hamim di Keraton Wolio. Pertemuannya dengan Sultan Hamim, sekaligus untuk memperoleh informasi tentang perkembangan sikap politik VOC/Belanda. Dalam masa memimpin perang gerilya, dengan menjadikan belantara Gunung Siontapina itulah, Himayatuddin mendapat gelar dari rakyat, melalui sebutan Oputa yi ko (Sultan yang memimpin perang gerilya di hutan).

Pada 1759, Sultan Hamim Tsakiuddin wafat. Sepeninggal Sultan Hamim, dewan Kesultanan memilih Rafiuddin Malik Sirullah sebagai Sultan (Sultan Buton ke-22). Dalam masa pemerintahan Sultan Rafiuddin Malik Sirullah, tekanan politik dan militer VOC/Belanda kian meningkat. Buton terus-menerus ditekan untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan VOC/Belanda, termasuk tuntutan penyelesaian kewajiban Buton atas ganti-rugi Kapal Rust en Werk.

Di tengah beratnya beban yang dihadapi kala itu, Sultan Rafiuddin Malik Sirullah wafat pada 1760. Maka, atas berbagai pertimbangan, dewan Kesultanan akhirnya memilih kembali Himayatuddin sebagai Sultan. Pelantikannya sebagai Sultan ke-23 ini didasari pertimbangan karena ia dipandang memiliki sikap tegas dan tidak mengenal kompromi dengan VOC/Belanda, sehingga dinilai mampu memimpin Kesultanan dalam kondisi yang penuh tekanan itu.

Diperiode kedua masa pemerintahannya, Sultan Himayatuddin tetap menunjukkan konsistensi, tidak bersedia tunduk pada VOC/Belanda. Tuntutan ganti kerugian yang dipaksakan VOC/Belanda, baik terhadap kerugian yang menimpa Kapal Rust en Werk, maupun biaya perangnya di Buton, tidak diindahkan. Berkali-kali perutusan VOC/Belanda dikirim ke Buton untuk membujuk Himayatuddin memulihkan hubungan diplomatik, Ia menjawab dengan mengobarkan api peperangan.

Hubungan diplomatik Buton-VOC/Belanda pada masa pemerintahannya yang kedua lagi-lagi berada di titik terendah. Segenap kekuatan rakyat, baik di pusat Kesultanan, di daerah kadie, maupun di daerah barata, dimobilisasi sebagai kekuatan pertahanan yang disiapkan untuk menghadapi kemungkinan serangan susulan pasukan VOC/Belanda.

Setelah stabilitas Buton dirasakan sudah relatif aman dalam tiga tahun kepemimpinannya, diperiode kedua, maka pada 1730, Himayatuddin mengundurkan diri dari jabatan Sultan. Ia kemudian diganti oleh Muhammad Qaimuddin sebagai Sultan Buton ke-24. Himayatuddin kemudian memilih kembali ke Gunung Siontapina dan terus menggelorakan semangat jihat fisabilillah terhadap VOC/Belanda hingga akhir hayatnya.


Akhir Hayat Panglima Pejuang

Dalam usia 86 tahun (1776), Himayatuddin wafat di puncak Gunung Siontapina. Sepanjang sejarah perjuangannya (±26 tahun), terhitung sejak dilantik menjadi Sultan ke-20 (1750) hingga wafatnya (1776), Ia tidak pernah tunduk dan menyerah pada VOC/Belanda, meskipun harus hidup menderita dalam gerilya. Ia rela meninggalkan kedudukannya demi kebebasan dan kehormatan bangsanya meskipun anak dan cucunya harus menjadi sandra VOC/Belanda.

Jenazah sang panglima pejuang itu dikebumikan di dekat makam sang ayah (Sultan Liyauddin) di Lawele. Namun, atas permintaan dewan Kesultanan, kerangka jenazahnya kemudian dipindahkan ke kompleks Lelemangura di Keraton Wolio, ibukota Kesultanan Buton. Atas konsistensi perlawanannya terhadap VOC/Belanda yang menjadikan belantara Gunung Siontapina sebagai basis perjuangan, Ia kemudian digelari rakyat melalui sebutan Oputa yi Ko (Sultan yang memimpin perang gerilya di hutan). Melalui sebutan Oputa yi ko atas dirinya, Himayatuddin sesungguhnya adalah Pahlawan.


Penutup

Sejarah Buton sesungguhnya memberi sumbangan bermakna dalam merekonstruksi sejarah Indonesia yang sejauh ini belum banyak mendapat perhatian. Sebagaimana daerah-daerah lain, Buton juga memiliki signifikansi dalam proses pembentukan ke-Indonesia-an. Pada masanya, Kesultanan Buton menjadi sebuah kekuatan yang tidak hanya eksis tetapi juga memperlihatkan dinamika dalam upaya menjaga kedaulatannya. Upaya itulah yang antara lain ditunjukan melalui sikap tegas Sultan Himayatuddin, yang hampir separuh hidupnya diabdikan untuk mempertahankan kedaulatan Buton dari upaya penindasan VOC/Belanda, tidak saja secara politis tetapi juga dalam bentuk konfrontasi bersenjata.

Sultan Himayatuddin telah lama tiada, namun sikap Kepahlawanannya telah menjadi referensi berharga yang mementahkan stigmatisasi sejarah bahwa Buton adalah sekutu abadi Belanda. Bagaimana persekutuan diantara keduanya dapat dianggap abadi, sementara pernah terjadi peristiwa perang. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Sultan Himayatuddin adalah satu diantara deretan tokoh yang telah mengempiriskan peran besar dalam membela harkat dan martabat bangsa dari cengkeraman penjajah.

Guna pewarisan nilai-nilai Kepahlawanan Sultan Himayatuddin, maka dipandang perlu: (i) pembangunan Monumen Juang Sultan Himayatuddin; (ii) Napak Tilas Rute Perang Gerilya Sultan Himayatuddin, (iii) Menjadikan Sejarah Perjuangan Sultan Himayatuddin Sebagai Materi Pembelajaran di Sekolah-Sekolah. Aspek yang disebut terakhir relevan dengan semangat pembentukan karakter generasi muda.

 

Daftar Pustaka
Anonim, 2008. Sejarah Perjuang Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa yi Ko): Sultan Buton XX dan XXIII (tidak diterbitkan). Kendari: Panitia Penulisan Sejarah Perjuangan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa yi Ko).

Munafi, La Ode Abdul. Mengkritisi Tafsir Hegemonik Sejarah dan Stigmatisasi Sejarah yang Membelenggu Buton, Jurnal Pendidikan Sejarah FKIP Unidayan, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2017.

Schoorl, Pim J.W., 2003. Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton. Jakarta. Penerbit: Djambatan.

Zuhdi, Susanto dan Muslimin A.R. Effendi, 2013. Perlawanan Sultan Himayatuddin Terhadap Belanda di Buton, 1687-1776. Makassar. Penerbit: Identitas Unhas dan Pemerintah Kota Baubau.

Zuhdi, Susanto dan Muslimin A.R. Effendi, 2015. Perang Buton vs Kompeni Belanda 1752-1776: Mengenang Kepahlawanan La Karambau. Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu.

Zahari, Abdul Mulku, 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Jakarta. Penerbit: Depdikbud.

 

(Redaksi)

SELAMAT HARI PAHLAWAN

10 NOVEMBER 2025

Komentar