Oleh: Andy Arya Maulana Wijaya
(Akademisi Universitas Muhammadiyah Buton)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M. Si, akan menyambangi negeri khalifatul khamis untuk kedua kalinya pada tanggal 16 dan 17 mei 2022 mendatang. Beliau datang dengan sejumlah adenda sebagai pimpinan pusat muhammadiyah, salah satunya adalah melakukan peresmian Gedung UM Buton Convention Center.
Namun, kedatangan beliau juga dapat menjadi salah satu tonggak penegasan muhammadiyah di Kota Baubau sebagai organisasi yang bergerak dalam pengembangan sumberdaya manusia, sekaligus turut membangun citra ideologisnya sebagai khairu ummah dan ajaran islam yang ya’lu wala yu’la alaih. Tapi sebagai warga muhammadiyah, apa yang bisa kita peroleh dari kunjungan ini?
Napak Tilas Muhammadiyah di Buton
Barangkali tidak banyak yang tahu jika Muhammadiyah justru lebih dulu eksis ketimbang Kota Baubau secara administratif, bahkan menurut beberapa sumber organisasi ini telah eksis di tanah butuni sejak masa kesultanan (periode tahun 1950.an sebelum Buton secara defacto bergabung dengan Republik Indonesia). Pertautan tersebut dibangun melalui peran muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan saat itu, sedangkan gerakan dakwah dan sosial belum begitu mewujud dari eksistensinya, inilah cara Muhammadiyah beradaptasi.
Tahun 2021 lalu, kami mendapat hibah penelitian muhammadiyah untuk melakukan penelusuran peran-peran muhammadiyah dari perspektif modal sosialnya. Dari konseptualisasi ini akan menjadi arena diskursus bagi persyarikatan dalam memahami perkembangannya dimasa yang akan datang, kami mengkajinya melalui pendekatan inside dan outside organisasi. Dari proses tersebut, kami membangun hipotesis bahwa citra Muhammadiyah yang dipahami oleh komunitas masyarakat buton saat ini, masih belum jauh merangkak dari citra awalnya di daerah pemilik benteng terluas di dunia, kami beranggapan masih ada “jarak” meski itu begitu samar.
Komunitas masyarakat buton dalam kajian kami masih beranggapan bahwa muhammadiyah memiliki ritus yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, semisal seperti tahlilan, takziah dan ziarah kubur, namun jika ditelisik pada nilai-nilai yang dipahami oleh organisasi muhammadiyah tidak secara terang menolak ritus tersebut. Hanya saja, perlu diakui bahwa eksistensi amal usaha adalah urat nadi citra muhammadiyah di persepsi komunitas masyarakat buton hingga saat ini.
Beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari temuan dan menjadi autokritik bersama adalah berasal dari organisasi otonom dan kader. Hal ini nampak dari sisi kapabilitasnya, tesis kami belum berani menjadikan point ini sebagai salah satu faktor yang memengaruhi citra positif muhammadiyah dari sisi kinerja organisasi dan peran kader. Dalam hemat kami, belum terjadi adanya “dialog” antara kader dan kodisi realistis masyarakat. Meski begitu, kader muhammadiyah telah banyak mengisi posisi penting di hampir seluruh sektor formal dan informal di daerah serta tetap dengan penegasan identitasnya sebagai warga atau kader muhammadiyah.
Agenda Lanjutan
Hasil kajian kami tentu saja dapat dibantah melui penelusuran kritis lainnya, karena hingga saat ini amal usaha Muhammadiyah khususnya Universitas Muhammadiyah Buton telah menjadi tulang punggung bagi masyarakat menanggapi peran dan kontribusi Muhamamdiyah sebagai organisasi pendidikan, sosial dan dakwah islam terbesar di Indonesia. Betapapun demikian, kondisi tersebut perlu menjadi input dalam membangun agenda persyarikatan Muhammadiyah di masa yang akan datang.
Preposisi awal dalam menyusun agenda ini bisa dimulai dari amal usaha UM Buton, melalui peresmian gedung UM Buton Convention Center menjadi negasi resmi bagi kampus terbesar di Kota Baubau tersebut untuk menempatkan dirinya dalam pembangunan sumberdaya manusia di daerah dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berbasis pada ajaran islam yang rahmatan lil alamin.
Bersumber dari aksentuasi diatas, kader muhammadiyah pada akhirnya memiliki arena untuk mengaktualisasikan dirinya. Kepercayaan diri kader akan turut serta bangkit seiring dengan kepercayaan publik terhadap amal usaha muhammadiyah di tengah-tengah komunitas masyarakat buton. Disisi lain, gerakan sosial dan dakwah oleh organisasi otonom muhammadiyah akan lebih mudah diterima oleh publik, yang bersisian dengan popularitas, pengakuan dan reputasi yang akan menjadi momentum untuk menebalkan garis perjuangan ideologi muhammadiyah.
Rasa-rasanya, kehadiran Prof. Haedar Nashir di Kota Baubau tentu saja akan menjadi mediasi bagi masyarakat umum, lebih lagi adalah aktivis muhammadiyah untuk tahu bahwa organisasi ini ikut serta mengembangkan sumberdaya manusia di tanah butuni yang kita cintai ini. Selain itu, nampaknya kita perlu merujuk narasi yang menyebut bahwa sebagai gerakan islam yang memiliki agenda pencerahan peradaban Muhammadiyah itu tidak cukup hanya sebagai jargon yang dibanggakan tanpa dipelajari lebih lanjut (Fanani, 2018).
Terakhir dari narasi ini adalah kehadiran Ketua Umum PP Muhammadiyah di Kota Baubau kali ini, bukanlah saja sebaimana agenda utamanya yakni meresmikan gedung UM Buton CC namun sekaligus juga triger bagi aktivis muhammadiyah menuju gerakan islam yang kosmopolit (Burhani, 2016), siap berdialog dan berkontribusi dengan berbagai peradaban. Wallahu alam bin shawab.
Agenda Ketua Umum dan Penegasan Peran Muhammadiyah di Tanah Buton

Komentar