Aksi Barbar di Negeri Para Sufi dan Hukum Tak Berwajah

LM. Irfan Mihzan
Pendiri Kasamea.com  

Baru sepekan usai peringatan Hari Jadi Baubau ke-484 dan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Baubau ke-24 sebagai Daerah Otonom, tawuran antar kelompok pemuda kembali terjadi. Aksi yang terbilang barbar, karena mempertontonkan dengan bebasnya, puluhan pemuda menenteng senjata tajam berupa parang panjang juga busur (mirip ketapel yang dimodifikasi dapat meluncurkan besi tajam).

Kejadian ini sudah berulang, di jalan umum, saat lalu lalang pengendara tengah ramai-ramainya. Bahkan tak ayal, aksi kejar-kejaran hingga korban luka terpampang nyata didepan mata, seolah jasad sudah tak bernilai, meratap nilai yang sudah tak memiliki roh.

Apa yang mereka perjuangkan?, apa yang mereka perebutkan?. Krisis apa yang tengah melanda kota ini?. Kota yang Jadi-nya diriwayatkan bermuasal dari sebuah negeri tua (484 tahun Hari Jadi Baubau di eks Kesultanan Buton).

Sebuah kota yang diriwayatkan sebagai negerinya para sufi, yang mewariskan sejarah Islamisasi nan mendalam. Utamanya melalui peran ulama sufi yang menyebarkan ajaran secara bertahap dan tidak radikal. Hingga menjadikan Islam sebagai ideologi negara melalui sistem “Martabat Tujuh”, yang mengharuskan Sultan memahami ajaran sufi sebagai syarat.

Dua kelompok pemuda disebut-sebut dalam pergesekan sosial ini. Pemuda lingkungan La Ode Boha dan pemuda Kanakea.

La Ode Boha

La Ode Boha adalah nama besar seorang pejuang penentang penjajah kolonial Belanda.

Juli 1911, Belanda melalui pemerintahan di Bau-Bau mengeluarkan aturan penarikan pajak bagi setiap kepala keluarga. La Ode Boha bersama rakyat kala itu menentang politik licik tersebut, hingga melakukan perlawanan, dan La Ode Boha gugur. Dikutip dari Kompas.com “Perlawanan La Ode Boha: Ketidakrelaan Rakyat Buton Dijajah Belanda”, referensi Chalik, H, A, dkk. (1983). Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Kanakea

Di Kanakea sejak dahulu secara turun temurun hingga beberapa generasi sampai saat ini masih melestarikan ritual Ouwena Kanakea. Mereka konsisten menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal warisan leluhur, sekaligus merawat peradaban, sejarah Keislaman  di Kesultanan Buton.

Ouwena Kanakea (Air Kanakea) dipercaya sebagai sumber mata air yang digunakan Syeikh Abdul Wahid untuk berwudu, ketika pertamakali menginjakkan kakinya di kawasan Kanakea. Setelah menempuh perjalanan dari Burangasi (Buton Selatan).

Syeikh Abdul Wahid adalah seorang alim ulama yang pertamakali menyiarkan agama Islam di tanah Buton.

Dari riwayat tersebut, beberapa orang tua terdahulu menamakan Air Kanakea sebagai Ouwena Kaislami, yang dapat dimaknai sebagai air yang mengislamkan, air yang menyucikan. Sehingga dalam perkembangannya  sampai saat ini kepercayaan masyarakat Buton bahwa sumber mata air ini suci untuk digunakan sebagai kelengkapan dalam ritual adat Buton.

Hukum Tak Berwajah

Pandangan Aristoteles, tujuan hukum adala,  semata-mata untuk mencapai keadilan. Isi dari hukum harus sesuai dengan kesadaran etis masyarakat dan diterapkan secara adil untuk semua warga negara agar mereka merasa terlindungi. 

Gustav Radbruch berpendapat, bahwa kepastian hukum adalah salah satu tujuan fundamental hukum. Harus memberikan kepastian bagi masyarakat, dimana setiap orang dapat memprediksi konsekuensi dari tindakan hukum mereka. Tujuan utama kepastian hukum adalah untuk menjamin ketertiban dan mencegah tindakan sewenang-wenang. 

Himbauan demi himbauan yang disampaikan empunya negeri dianggap angin lalu alias tak berarti. Tawuran-sajam-pemuda, tiga kata bertautan dengan peristiwa hukum yang terus saja berulang.

Termaktub dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, mengatur terkait kepemilikan senjata tajam tanpa hak. Terang pula diatur dalam KUHP, terkait perkelahian beramai-ramai yang mengakibatkan luka atau kematian (Pasal 358 KUHP), dan jika terjadi penganiayaan, diatur dalam Pasal 351 KUHP.

Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan utama bagi hak-hak setiap warga negara, termasuk hak atas rasa aman. Pasal 28G ayat (1) menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal 28D menekankan hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 

Lantas dalam konteks ini, wahai hukum, kamu berada dimana ?, sedang bersama siapa ?, sedang berbuat apa ?. Wibawamu nampak kusam tak berkharisma, wajahmu tak cukup rupawan lagi dalam penciptaan rasa aman dan bermartabat di kota tercinta ini, bahkan dikau nyaris tak berwajah lagi. *****

 

Komentar