La Nuhi SH MH
Baubau
Wakil Ketua DPRD Baubau H Kamil Ady Karim (KAK) akhirnya menanggapi pemberitaan tentang perkara pidana dirinya yang dilaporkan Ajida warga kelurahan Labalawa Kecamatan Betoambari Kota Baubau, melalui kuasa hukumnya Mustakim Ladee SH MH, ke Polda Sultra.
Menggunakan hak jawab-nya, KAK membeberkan fakta, serta upaya persuasif yang telah ditempuhnya dalam menyelesaikan permasalahan jual beli tanah antara dirinya dan Ajida.
Melalui Kuasa Hukum-nya, La Nuhi SH MH, terurai fakta sebagai berikut:
Perihal dugaan pencurian sertifikat milik Ajida, KAK hadir sendiri untuk memberikan keterangan, tanpa didampingi kuasa hukum. 13 September 2022, KAK sudah memberikan keterangan secara rinci kepada penyelidik Polda Sultra.
KAK merasa perlu untuk mengklarifikasi kembali, agar jelas permasalahannya.
Kronologis
Pada bulan Juni 2016 Ajida dan Wa Nufia ditemani La Faili datang ke rumah KAK. Mereka menawarkan menjual tanah mereka, Ajida mengaku memiliki tanah seluas 2 Ha dan Wa Nufia 1 Ha, dengan harga Rp 10.000 per meter.
KAK menyetujui membeli tanah tersebut dan memberikan panjar kepada keduanya masing-masing Rp 20juta, dengan kesepakatan akan diunasi setelah Ajida dan Wa Nufia mengukur/memastikan ukuran, dan memasang patok batas tanah, untuk mengetahui luas dan batas tanah tersebut.
Setelah sekian lama menunggu, Ajida dan Wa Nufia tak kunjung menyampaikan tentang kepastian ukuran dan pemasangan patok batas tanah yang diminta oleh KAK. Sekitar enam bulan lamanya, KAK meminta bantuan kepada seorang tokoh masyarakat, La Posi, untuk menghubungi/mengkomunikasikan kepada Ajida dan Wa Nufia, untuk membantu mengukur dan memasang patok batas tanah. Kepada La Posi, KAK memberikan uang Rp 5juta dan enam sak semen.
Berlanjut beberapa bulan kemudian, KAK menanyakan kepada La Posi, apakah tanah dimaksud sudah diukur dan dipasangi patok batas. La Posi mengatakan bahwa, La Posi telah menghubungi Ajida, dengan maksud untuk mengukur dan memasang patok batas tanahnya, namun Ajida tidak meresponnya.
Pada tahun 2017, Ajida ditemani Lurah Labalawa datang menemui KAK di rumah kediaman KAK untuk meminta pelunasan tanah miliknya. KAK tidak memenuhi permintaan Ajida sebab kelengkapan administrasi untuk pembuatan akta kompensasi tanah belum bisa dilakukan, dikarenakan luas/volume tanah tersebut belum diketahui.
Namun demikian, pada saat itu, KAK sempat menawarkan tambahan uang panjar kepada Ajida sebesar Rp 20juta sampai Rp 30juta, akan tetapi Ajida menolaknya.
Selanjutnya, pada 2019 KAK kembali berupaya untuk meng-sertifikat-kan tanah tersebut, melalui program Prona di Kelurahan Labalawa. Sehingga pada saat itu, KAK sempat mengutus anaknya Karmin dan rekannya La Ode Amrullah untuk menemui Ajida dan Lurah Labalawa.
Dalam pertemuan tersebut turut dihadiri seorang bernama La Indo. Dalam pertemuan ini telah disepakati oleh Ajida dan Lurah Labalawa, bahwa dalam urusan sertifikat tanah tersebut sudah harus atas nama KAK dan anak-anak KAK. Sehingga KAK sudah bisa melunasi harga tanah kepada Ajida.
Kesepakatan tidak dipenuhi Ajida dan Lurah Labalawa, karena dalam pengusulan pembuatan sertifikat melalui program Prona, yang diusulkan adalah nama Ajida dan La Nae, suami Ajida. Setelah KAK mengetahui keadaan demikian, KAK mempertanyakan kepada Lurah Labalawa, dan Lurah Labalawa menyampaikan bahwa saat itu sudah terburu-buru, berkas usulan Prona sudah harus segera dikirim ke Jakarta. Dan Lurah Labalawa menyampaikan, bila sertifikat sudah terbit, maka akan diserahkan kepada KAK.
“Jadi sertifikat akan diserahkan ke pak haji (KAK) agar bisa dihitung luas tanah Ajida tersebut, untuk dilakukan pelunasan oleh pak haji,” urai La Nuhi.
Beberapa bulan kemudian, Lurah Labalawa menyampaikan kepada KAK bahwa sertifikat tersebut sudah ada di tangan Lurah Labalawa, dan KAK meminta untuk diantarkan ke rumah KAK, sehingga KAK dapat melunasinya.
Lurah Labalawa mengantarkan dua sertifikat atas nama Ajida dan La Nae kepada KAK. KAK lantas mempertanyakan satu sertifikat atas nama La Nae lainnya. Lurah Labalawa mengatakan, bahwa sertifikat lainnya atas nama La Nae sedang dicari, karena banyaknya tumpukkan sertifikat di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Baubau.
Guna memudahkan, KAK menelpon Kepala BPN Baubau kala itu, La Ariki, meminta bantuan mencarikan sertifikat atas nama La Nae. Keeseokan harinya La Ariki mengantarkan sertifikat tersebut ke rumah kediaman KAK.
Setelah memperoleh tiga sertifikat, atas nama Ajida berukuran luas 4722 meter persegi dan atas nama La Nae masing-masing berukuran luas 4858 meter persegi, dan 6752 meter persegi. Keesokan harinya KAK meminta bantuan Lurah Labalawa untuk memanggil Ajida untuk melihat ukuran luas tanah yang tertera dalam sertifikat, untuk kemudian dilakukan pelunasan oleh KAK.
Ajida datang ditemani seorang kemenakannya bernama Wa Nuri.
Dalam pertemuan itu KAK memperlihatkan sertifikat kepada Ajida, yang ternyata ukuran luas keseluruhan tanahnya hanya 16332 meter persegi (Tidak sampai 2 Ha sepertia yang disampaikan Ajida diawal). KAK menyampaikan akan membayar lunas tanah tersebut sesusai dengan luas ukuran yang tertera dalam sertifikat. Setelah dipotong dengan uang panjar Rp 20juta yang sudah diserahkan KAK kepada Ajida.
Ketika itu Ajida menolak, dan menaikkan harga tanahnya dari kesepakatan sebelumnya Rp 10.000 per meter. Ajida meminta tambahan pembayaran.
KAK pun mencoba menawarkan kepada Ajida, akan melunasi sesuai ukuran tanah yang tertera dalam sertifikat dan menambahkan Rp 20juta lagi (Rp 163.320.000 + Rp 20.000.000 = Rp 183.320.000, dengan catatan panjar dihapuskan.
Ajida pun setuju dengan penawaran KAk tersebut, dan keesokan harinya Ajida bersama La Nae akan menyerahkan KTP untuk pengurusan balik nama sertifikat, dari Ajida dan La Nae, ke nama KAK dan anak-anak KAK.
Sehari kemudian, Lurah Labalawa meminta KTP Ajida dan La Nae, namun keduanya tidak mau menyerahkannya.
Atas sikap Ajida dan La Nae yang tidak mengindahkan upaya penyelesaian masalah secara kekeluargaan yang dilakukan KAK, sehingga KAK menempuh upaya hukum melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Baubau, pada 21 Desember 2021.
Oleh PN Baubau, gugatan KAK dikabulkan, selanjutnya Ajida melalui kuasa hukumnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, yang kemudian memutuskan NO. KAK pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI, dan sampai saat ini belum ada putusan.
“Dari uraian diatas, kami menarik kesimpulan bahwa setelah terjadinya kesepakatan jual beli tanah antara Ajida dan klien kami tahun 2016 yang diperkuat dengan adanya panjar Rp 20juta, adalah sah dan mengikat,”
“Bahwa tindakan meng-sertifikat-kan tanah obyek sengketa menjadi atas nama Ajida dan atas nama La Nae, diduga merupakan perbuatan melawan hukum dan terindikasi penipuan,”
“Bahwa setelah mempelajari secara seksama uraian klarifikasi/penjelasan ini, kami meyakini tidak ada unsur pencurian dan penggelapan sertifikat dimaksud, seperti yang dilaporkan melalui kuasa hukum Mustakim Ladee SH MH ke Polda Sultra. Yang terjadi justru pencemaran nama baik atas diri klien kami dan keluarganya,”
“Bahwa pengambilan ketiga sertifikat tersebut semata-mata didasari itikad baik untuk mengetahui berapa luas tanah yang dibeli oleh klien kami, untuk dilakukan pelunasan, yang telah diikat dengan perbuatan hukum jual beli tanah antara Ajida dan klien kami pada tahun 2016,” pungkas La Nuhi. (Redaksi)
Berita terkait ⬇️
Komentar