Mengejutkan, Wakil Ketua DPRD Baubau Angkat Bicara Soal Nenek Ajida

La Nuhi SH MH

Baubau

Wakil Ketua DPRD Baubau H Kamil Ady Karim (KAK) akhirnya menanggapi pemberitaan tentang perkara perdata dan pidana antara dirinya dengan nenek Ajida warga kelurahan Labalawa Kecamatan Betoambari Kota Baubau.

Menggunakan hak jawab-nya, KAK mengurai kronologis, serta upaya persuasive yang telah ditempuhnya dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Melalui Kuasa Hukum-nya, La Nuhi SH MH, menguraikan sebagai berikut:

Ranah Perdata

Permasalahan perdata bermula saat 2016 lalu, Ajida bersama Wa Nufia dan La Faili datang ke rumah kediaman kliennya (KAK) dengan maksud hendak menjual tanah mereka yang terletak di Labalawa. Menurut Ajida tanahnya seluas 2 Ha, dan Wa Nufia memiliki tanah seluas 1 Ha. Masing-masing menawarkan menjual tanahnya dengan harga Rp 10ribu per meternya.

Merespon baik maksud Ajida dan Wa Nufia, KAK hendak membantu keduanya, yang sudah datang jauh-jauh dari Labalawa. KAK lantas menanyakan letak/titik lokasi, ukuran, serta hal terpenting yakni alas hak kepemilikan tanah dimaksud.

“Pak haji (KAK) menanyakan berapa ukuran luasnya , apa buktinya (alas hak kepemilikan), memperjelas guna  mencegah tumpeng tindih kepemilikan tanah tersebut,” ungkap La Nuhi.

Kala itu terjadi kesepakatan, KAK bersedia membeli dengan harga Rp 10ribu per meter, dengan membayar panjar Rp 20juta, masing-masing untuk Ajida dan Wa Nufia. Sembari menegaskan bahwa sisa pembayaran akan dilunasi setelah ada kejelasan/kepastian luas ukuran tanah tersebut, berbatasan dengan tanah milik siapa saja, dan terpasangnya patok batas tanah.

KAK sejak awal tidak ingin terjadi masalah dikemudian hari, sehingga melakukan langkah antisipasi, berhati-hati, menghindari bila ada pihak-pihak yang juga mengklaim kepemilikan tanah yang akan dibelinya. Namun demikian, pada akhirnya ia juga harus menerima kenyataan, sebab terjadi juga masalah karena ia membeli tanah milik Ajida.

La Nuhi melanjutkan, setelah semua bersepakat menyangkut harga dan nominal uang panjar, KAK langsung menyerahkan uang panjar kepada Ajida dan Wa Nufia, masing-masing Rp 20 juta, disertai bukti kwitansi pembelian tanah, dan dengan disaksikan oleh tiga orang lainnya. Setelah menerima uang panjar, Ajida dan Wa Nufia pamit meninggalkan rumah kediaman KAK.

Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, KAK memanggil Ajida dan Wa Nufia untuk mengecek terkait pemintaannya tentang kepastian ukuran luas, dan pembuatan patok batas tanah. Ternyata, Ajida dan Wa Nufia belum juga memenuhi permintaan KAK tersebut.

KAK lantas meminta bantuan kepada seorang tokoh masyarakat, La Posi, sekaligus memberikan uang Rp 5juta dan enam sak semen, untuk mengukur dan membuat patok batas tanah milik Ajida dan Wa Nufia.

Berlanjut beberapa bulan kemudian, La Posi menyampaikan kepada KAK bahwa ia tidak bisa melakukan pengukuran dan pemasangan patok batas tanah, karena ia mengalami kesulitan berurusan dengan Ajida.

Waktu terus bergulir, Ajida pernah mendatangi rumah kediaman KAK bersama Lurah Labalawa. Tetapi kala itu Ajida bukannya menyampaikan tentang ukuran luas dan pembuatan patok batas, melainkan meminta pelunasan harga tanah miliknya.

“Dia (Ajida) meminta pelunasan, sementara permintaan pak haji tidak diindahkan, yakni kepastian ukuran luas dan pemasangan patok batas tanah. Nah mau dilunasi bagaimana kalau ukuran luasnya tidak jelas, dan patok batas tanahnya juga tidak ada,” urai La Nuhi.

Pernah pula terjadi pertemuan antara La Ode Amrullah, Karmin (Putera KAK), Lurah Labalawa dengan Ajida, juga seorang tokoh masyarakat, La Indo. Pertemuan ini menyepakati bahwa penerbitan peng-sertifikat-an tanah milik Ajida nantinya sudah atas nama KAK, dan/atau anak-anak KAK. Namun pada kenyataannya, saat sertifikat dimaksud telah terbit, justru atas nama Ajida dan atas nama La Nae, suami Ajida. Dalam hal ini, Ajida diduga tidak mengindahkan adanya kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya, termasuk telah dibayarnya panjar Rp 20juta ditandai adanya kwitansi, dan dihadapan tiga orang saksi yang ikut membubuhkan tanah jempol pada kwitansi tersebut.

Setelah mengetahui bahwa sertifikat terbit atas nama Ajida dan La Nae, KAK tetap bersabar, dan tetap memilih penyelesaian secara kekeluargaan. KAK menyampaikan kepada Lurah Labalawa, bila sertifikat tersebut telah terbit, dan dibagikan melalui kantor Kelurahan, agar diserahkan kepada dirinya (KAK).

Beberapa bulan kemudian, Lurah Labalawa menyampaikan kepada KAK, bahwa sertifikat atas nama Ajida dan Wa Nufia sudah ada. Kemudian KAK meminta tolong agar sertifikat tersebut diantar ke rumah kediamannya, dan Lurah Labalawa pun mengantarkannya.

Minus sertifikat atas nama La Nae, yang masih tertinggal di kantor BPN Baubau, karena masih banyaknya tumpukkan sertifikat. KAK pun meminta tolong kepada Kepala BPN Baubau yang kala itu masih dijabat La Ariki.

Keesokan harinya La Ariki mengantarkan sertifikat atas nama La Nae ke rumah kediaman KAK, sehingga ada tiga sertifikat yang dipegang oleh KAK. Berlanjut sore dihari yang sama, KAK menelpon Lurah Labalawa, meminta tolong agar memanggil Ajida ke kediaman KAK.

Keesokanharinya datanglah Ajida ditemani kemenakannya, Wa Nuri, ke kediaman KAK. Saat itu KAK menunjukkan tiga sertifikat yang ada padanya, dan menyampaikan akan membayar lunas harga tanah sesuai dengan ukuran luas tanah yang tertera pada sertifikat.

Sebelumnya diawal menawarkan menjual tanah, Ajida menyebutkan ukuran tanah miliknya seluas 2 Ha, yang kemudian terbit dalam dua sertifikat atas nama Ajida dan La Nae (Suami Ajida). Dalam dua sertifikat ini tertera ukuran tanah seluas 1,6 Ha (Tidak sampai 2 Ha seperti yang disampaikan kepada KAK diawal Ajida menawarkan menjual tanah).

Kembali pada penyampaian KAK yang akan membayar lunas harga tanah sesuai dengan ukuran luas tanah yang tertera pada sertifikat, Ajida tidak mau. Ajida menolak KAK, bahkan justru menaikkan harga, dari yang disepakati diawal Rpn 10ribu per meter.

Mencoba mengambil jalan tengah, KAK menyampaikan kepada Ajida, selain uang panjar Rp 20juta yang sudah diberikan KAK kepada Ajida, dan harga tanah Rp 10ribu per meter sesuai dengan ukuran luas tanah yang tertera pada sertifikat, KAK akan menambahkan lagi uang senilai Rp 20juta.

Ajida sepakat pada penyampaian KAK tersebut, dan bersedia menyerahkan KTP-nya kepada Lurah Labalawa untuk pengurusan balik nama sertifikat ke nama KAK.

“Tapi ternyata besoknya Ajida sudah tidak mau lagi serahkan KTP-nya,” ucap La Nuhi.

Dari rangkaian kronologis itulah, upaya penyelesaian masalah secara kekeluargaan yang tak kunjung membuahkan win-win solution, sehingga KAK melalui Kuasa Hukum La Nuhi SH MH mengajukan gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Baubau. Yang dalam prosesnya, oleh PN Baubau, gugatan KAK dikabulkan, dan pihak Ajida melalui Kuasa Hukum-nya Mustakim La Dee SH MH, mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara (PT Sultra).

Proses peradilan Perdata yang bergulir di PT Sultra berujung pada NO. “Maksud alasan pengadilan tinggi tidak jelas perjanjiannya. Tapi kan kalau kita pengacara ini tetap kita menghormati semua proses dan putusan pengadilan. Dengan demikian maka kita mengajukan kasasi ke MA, dan proses kasasi itu sampai sekarang belum turun putusannya. Nomor register perkaranya saja belum ada,” jelas La Nuhi, pengacara kondang Kepton ini. (Redaksi)

Berita terkait ⬇️

Komentar