Refleksi Silaturahim Prof Haedar Nashir: Nilai Ukhuwah Al Insaniyah sebagai Aksi Kader Muhammadiyah

Penulis: Andy Arya Maulana Wijaya
(Akademisi Universitas Muhammadiyah Buton)

Salah satu agenda Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si di Kota Baubau yakni bersilaturahim dengan warga Muhammadiyah. Salah satu penegasan yang disampaikan dalam pertemuan tersebut adalah penguatan Ukuwah Insaniyah, dengan ini akan menjadi sarana bagi warga muhammadiyah khususnya di tanah Buton berkontribusi. Dari nilai ini juga menjadi faktor kunci perjalanan persyarikatan Muhammadiyah hingga saat ini.

Banyak ahli menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern atau reformis, bahkan sebagai organisasi terkaya di dunia. Sebutan modernisme dan reformisme Islam secara khusus dilekatkan pada Muhammadiyah, sehingga label itu begitu kuat sampai saat ini. Bagaimana merefleksikan pesan tersebut sebagai agenda pergerakan Muhammadiyah di negeri Khalifatul Khamis ini?.

Kuntowijoyo (2006) dalam bukunya Islam sebagai Ilmu memperkenalkan metodologi baru dalam pengkajian Ilmu dalam perspektif Islam. Salah satu teori yang beliau kritisi adalah metodologi yang cenderung pada filsafat barat atau atroposentrisme, dengan konsep gerakan profetik pada tiga pilar yakni humanisasi, liberasi dan transedensi. Konsep ini menurut Kuntowijoyo, untuk dapat dipahami secara utuh dengan bersandar pada teosentrisme.

Merujuk pada konsep humanisme teosentris yang diajukan oleh Kuntowijoyo, dapat dilekatkan dengan pesan yang disampaikan oleh Prof. Haedar Nasir, yakni ukhuwah al insaniyah, yang tentu saja akan sangat dipengaruhi dengan sosio kemasyarakatan saat ini.

Adanya krisis moralitas, terbelahnya masyarakat, konflik, hingga mudahnya menyulut kesalahpahaman publik terhadap realitas yang bahkan belum diketahui kebenarannya alias hoaks.

Humanisme teosentris sebagaimana yang dimaksud Kuntowijoyo, bahwa perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Kepentingan sesama manusia menjadi kepentingan bersama, namun tetap dilekatkan pada upaya-upaya untuk mencapai nilai Ketuhanan.

Sebagaimana Prof Haedar sampaikan, bahwa meski dalam satu organisasi, perbedaan pemikiran adalah keniscayaan. Hanya saja kedewasaan organisasi akan ditentukan dari bagaimana mengelola perbedaan, menjadi upaya memajukan persyarikatan.

Seperti halnya, dalam ajaran bahwa bagi Muhammadiyah korupsi adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus ditolak, sehingga aktivis Muhammadiyah tidak boleh korupsi. Namun juga menjadi tugasnya untuk mencegah dan mengedukasi masyarakat, bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan.

Prof Haedar menyebutnya sebagai spirit Al Imran yang sejalan tata laku kemasyarakatan aktivis Muhammadiyah dalam menjalankan nilai utama sebagai rahmatan lil alamin.

Muhammadiyah mengusahakannya melalui jalan pendidikan, sebagai investasi jangka panjang suatu bangsa khususnya di daerah. Maka memajukan pendidikan adalah upaya terus menerus untuk mengembangan sumberdaya manusia. Inilah yang harus diperjuangkan oleh aktivis Muhammadiyah di Kepulauan Buton. Ukhuwah al-insaniyah adalah
sumberdaya yang perlu dimiliki oleh Muhammadiyah di buton, sebagai sarana membangun dialog, berkontribusi optimal dan membangun jejaring yang berkemajuan.

Namun, Prof Haedar juga mengingatkan bahwa menciptakan ukhuwah ini tidak mudah, perlu perjuangan, kesabaran dan kesungguhan dari aktivis Muhammadiyah. Olehnya itu, 108 tahun bukanlah sekedar angka, namun lapis-lapis rangkaian perjuangan.

Sebagaimana keanehan yang sering ditemui, yakni eforia sebagai aktivis dengan sejumlah nilai-nilai yang dipercayainya, justru cenderung abai pada aksi-aksi yang perlu dilakukan guna mewujudkan nilai tersebut. Ukhuwah ini kembai ditegaskan untuk melibatkan relasi hablu min al-nas dengan komunitas yang lebih besar.

Bagi ajaran Muhammadiyah, nilai ukhuwah al-insaniyah akan melahirkan perilaku ihsan. Dimana, Ihsan tersebut merupakan ajaran yang memiliki hubungan lintas batas kemanusiaan, yang mampu melahirkan kebajikan bersama.

Mengutip salah satu tulisan Prof Haedar, mengatakan bahwa sekolah barat hanya mendidik untuk berpikir, namun tidak untuk hidup. Inilah yang menjadi inspirasi Muhammadiyah, untuk menciptkan Islam yang berkemajuan memancarkan pencerahan bagi kehidupan.

Kini, sebagai aktivis Muhammadiyah, tentu kita diharapkan mewujudkan aksi sosial disini, di Kepulauan Buton.

Komentar