Sawer Bukan Pasali Tradisi Buton, Kadis Kominfo Sultra Bijaknya “Minta Maaf dan Klarifikasi”!

Baubau

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara (Kadis Kominfo Sultra) diminta segera meminta maaf dan mengklarifikasi isi pernyataannya yang mengaitkan Sawer dengan Pasali Tradisi Buton. Ini terkait isi pernyataan Kadis Kominfo Sultra melalui pres rilis yang kemudian tayang dalam berita dibeberapa media.

Terang dan jelas, Sawer atau Saweran sangat berbeda dengan pemaknaan Pasali Tradisi Buton.

Bila menelusuri arti sawer dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka tertuju pada saweran, hasil menyawer (uang dan sebagainya). Selanjutnya, menyawer (v Jk) meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukkan keliling, seperti kuda kepang, topeng). Ada pula menyawer (v Sd) menebarkan uang, beras, dan sebagainya kepada undangan oleh pengantin.

Pasali dalam Kamus Bahasa Wolio – Indonesia bermakna pemberian jasa adat pada seseorang berupa uang besar jumlahnya sesuai dengan derajat kedudukan dalam adat; pemberian jasa dilakukan pada upacara-upacara adat.

Dari sumber terpercaya, dijelaskan bahwa Pasali adalah honorarium secara adat yang sudah ada ketentuannya.

Contoh pada Syarakidina (Tetua Adat, Perangkat Masjid Agung Keraton Buton), dalam acara Adat, Pasali Imam, yakni 1 boka, atau berupa uang Perak 1 rupiah 2 seen, atau kurs saat ini Rp60 ribu. Bila Pasali yang diberikan lebih dari Rp60 ribu, maka itu sudah masuk kategori “haejati”.

Nominal Pasali, tidak semua Imam mendapatkan Pasali yang sama. Baik Imam Masjid Sorawolio, Baadia, masing-masing berbeda.

Ada tata cara dalam pemberian Pasali, secara resmi disimpan pada wadah yang disebut Kabintingia dan kopo-kopo.

Dahulu Pasali diberikan dalam bentuk uang koin perak, dan untuk Pasali diatas 1 boka menggunakan kimia/pengalas kopo-kopo. Tetapi bila tidak ada wadah, maka pemberi Pasali terlebih dahulu meminta maaf kepada penerima Pasali (Toemaniakamo Maafu). Pasali menggunakan uang perak disimpan dalam kopo-kopo, namun sekarang ini uang perak mahal dan langka, maka digunakanlah uang kertas/Indonesia, yang diletakkan dibawah kopo-kopo, karena tidak muat bila disimpan didalamnya.

“Haejati” merupakan hajat yang menyelenggarakan acara atau ritual adat, memberikan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih kepada tetua adat atau perangkat adat yang membacakan doa, atau menuntun jalannya acara/ritual adat.

Haejati tidak harus, melainkan keikhlasan dari yang punya hajat. Haejati tidak ada batas atau ukuran nominal seperti halnya Pasali. Bisa senilai Rp 50ribu atau lebih diatasnya tergantung keikhlasan pemberi, disimpan dalam amplop atau diberikan secara tertutup.

Pemberian haejati atau hajat berbeda dengan Pasali yang memang sudah ada ketentuan nominalnya, dan ketentuan tata caranya, menggunakan wadah kabintingia dan kopo-kopo.

Dalam ritual duka malam ketiga (Palapasia talu malona) Perangkat Masjid Agung Keraton Buton diundang untuk membacakan doa, maka keluarga yang mengundang menyiapkan Pasali untuk Tungguna Ganda Rp10 ribu, Moji Rp30 ribu, Hatibi Rp45 ribu, Imam Rp60 ribu, dan Lakina Agama Rp75 ribu.

Aktivis Meminta Kadis Kominfo Sultra “Minta Maaf dan Klarifikasi Pernyataannya”


Terkait isi pernyataannya yang keliru tentang Pasali Tradisi Buton, Kadis Kominfo Sultra diminta agar bijak, meminta maaf dan mengklarifikasinya.

Ketua DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Baubau La Ode Rizki Satria menyarankan agar Kadis Kominfo Sultra berdialog dengan beberapa tokoh yang paham Tradisi dan Kebudayaan masyarakat Buton. Sebab Pasali merupakan Tradisi Masyarakat Adat Buton yang didalamnya dibungkus dengan etika maupun estetika, serta telah ada ketentuan sebagaimana turun temurun dilakukan oleh Masyarakat Adat Buton.

Pasali dalam kebiasaan Masyarakat Adat Buton tidak berkesan memamerkan kekayaan ataupun menghambur-hambur uang, karena ada nilai kearifan lokal yang melekat didalamnya. Sehingga sangat tidak bijak dan tidak elok menyamakan Pasali dengan Sawer pada umumnya.

Rizki menyayangkan pernyataan Kadis Kominfo Sultra sebagai representasi Pemprov Sultra, sebagai pimpinannya adalah Gubernur Sultra.

“Kami tidak mempersoalkan yang dilakukan Gubernur atau siapapun yang melempar uang dalam acara itu, tetapi ini terkait isi pernyataan Kadis Kominfo Sultra yang manganggap bahwa perbuatan tersebut bagian dari Tradisi Orang Buton,” jelas Rizki.

Rizki khawatir pernyataan Kadis Kominfo Sultra akan liar, dan orang akan menganggap bahwa prosesi Pasali sebagaimana yang dipertontonkan pejabat-pejabat tersebut. Sehingga Tradisi Pasali di Buton akan disalahartikan oleh publik.

Kata Rizki, Buton merupakan salah satu eks Kesultanan yang menanamkan nilai-nilai ke-Islaman didalamnya, dan nilai itu masih dijaga dengan baik oleh masyarakatnya hingga saat ini.

“Kami meminta dengan tegas agar yang bersangkutan meminta maaf dan mengklarifikasi pernyataannya. Agar orang tidak menyalahartikan prosesi Pasali yang ada di Buton,” tegasnya.

Demikian pula Aktivis Kota Baubau, Jasmin yang ikut mengkritisi Kadis Kominfo Sultra.

Jasmin menanggapi klarifikasi Kadis Kominfo Sultra, yang menyebut tindakan Gubernur Sultra melempar uang sebagai Tradisi Pasali Masyarakat Buton, adalah pemahaman keliru, alias salah besar. Mengingat Tradisi Pasali Masyarakat Buton pada sangat berbeda dengan istilah Saweran atau Menyawer.

Menurut Jasmin, Pasali merupakan pemberian sejumlah uang kepada Perangkat Adat atau Tokoh Adat sebagai ungkapan rasa terima kasih, yang diberikan dengan cara yang sopan dan beradab, bukan dengan cara melempar atau menghamburkan uang, seperti yang terlihat dalam potongan video dimana Gubernur Sultra dan pejabat lainnya terlihat melempar uang kepada masyarakat yang hadir dalam peringatan HUT Buton Utara.

“Jangan samakan Tradisi Pasali dengan Saweran. Yang dilakukan Gubernur, Ketua DPRD, dan Bupati Butur Ridwan Zakaria kurang etis sebagai seorang pejabat. Jadi itu bukan Pasali, karena tidak menunjukkan adab nilai kearifan lokal Buton,” ungkapnya.

Aktivis lainnya, Ketua Forum Komunikasi Pemuda (FKP) Buton Muhammad Risman menekankan agar Kadis Kominfo Sultra meminta maaf kepada Masyarakat Buton dan segera mengklarifikasi isi pernyataannya.

“Seharusnya sebagai juru bicara, dia merespon tindakan Gubernur Sultra dilakukan tanpa sengaja, apalagi dalam situasi berdiri diatas panggung dalam suasana kemeriahan HUT Butur. Tentu itu, diluar dugaan. Cukup meminta maaf, dan mengklarifikasi pernyataannya, pasti masyarakat akan mengerti,” ujar Risman.

Risman turut menyayangkan pernyataan Kadis Kominfo Sultra yang terkesan melebar, menyebut Saweran yang dilakukan Gubernur sebagai Tradisi Masyarakat Buton. Bahkan Tradisi Saweran secara luas merupakan Tradisi Masyarakat Indonesia.

Risman pun meminta kepada Gubernur Sultra untuk mengevaluasi kinerja Kadis Kominfo Sultra, karena pernyataan Kadis Kominfo Sultra meresahkan Masyarakat Buton.

SIARAN PERS

Kadis Kominfo Sultra: Saweran Gubernur Sultra Bagian dari Tradisi Masyarakat Indonesia

sultrapriv.go.id – Beredarnya video yang memperlihatkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi bersama sejumlah pejabat lainnya melakukan bagi-bagi uang kepada masyarakat dalam acara ramah tamah peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Buton Utara (Butur) ke-15 Tahun 2022, mengundang tanggapan dari sejumlah pihak tanpa terkecuali Kadis Kominfo Sultra Ridwan Badallah.

Kadis Kominfo mengatakan, kegiatan saweran yang dilakukan Gubernur Ali Mazi bersama sejumlah pejabat lainnya kepada masyarakat setempat merupakan bagian dari tradisi masyarakat Indonesia, termasuk di kawasan Indonesia timur, yang lebih spesifik lagi, Provinsi Sulawesi Tenggara.

“Kita di Indonesia memberi uang sebagai hadiah sudah lumrah dalam sebuah perayaan, seperti Idulfitri, Imlek, perayaan pernikahan, kegiatan melayat, termasuk berbagai kegiatan tradisi lainnya. Kalau perayaan hari raya kita kenal sebagai istilah THR atau tunjangan hari raya. Kalau imlek dikenal istilah angpao. Dalam sebuah hajatan di daerah Jawa dikenal dengan istilah nyawer sedangkan di daerah Buton dikenal dengan istilah Pasali,” ucapnya.

Pasali inilah, lanjut dia, yang dilakukan oleh Gubernur Sultra kepada masyarakatnya sebagai wujud kegembiraan dan harapan nasib baik bagi penerimanya maupun yang memberi. Tradisi ini sekaligus sebagai wujud syukur dan bahagia atas momen yang digelar saat itu, yang kala itu kebetulan berada dalam momen acara gala dinner peringatan HUT Butur.

“Yang dilakukan Gubernur adalah tradisi masyarakat Indonesia dalam meluapkan kegembiraan pimpinan terhadap masyarakatnya dalam suatu peristiwa perayaan HUT, sekaligus ungkapan rasa syukur dan terimakasih atas kehadiran mereka di acara tersebut dan bisa merasakan kegembiraan bersama masyarakat setempat,” tuturnya.

Dia mengakui, seiring perkembangan zaman dan kehidupan sosial masyarakat, tradisi nyawer atau pasali tersebut juga mengalami perkembangan atau perubahan, yang dahulu hanya berwujud uang, kini bisa diubah dalam bentuk apa saja, selama pemberian tersebut dinilai dibutuhkan oleh masyarakat atau penerima dan mampu memberikan rasa gembira serta syukur bagi kedua belah pihak.

Ridwan mencontohkan, kegiatan nyawer atau pasali yang dilakukan oleh orang nomor satu di Indonesia, yang tidak lain adalah Presiden RI Joko Widodo, dengan mengganti pemberian tersebut dari bentuk uang ke pakaian seperti baju kaos kepada masyarakat. Bahkan tidak tanggung-tanggung Presiden langsung memakaikan kepada masyarakat terpilih.

Menurutnya, ini dilakukan Presiden hampir setiap kali berkunjung ke daerah-daerah, sebagai bentuk kegembiraan Bapak Presiden karena bisa datang ke daerah tersebut dan bertemu masyarakat yang juga menyambutnya ataupun menghadiri kunjungan Presiden RI.

“Jadi inilah salah satu budaya kita, yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Budaya suatu daerah tentu mempunyai ciri khas yang membedakan dengan daerah lainnya atau bahkan terkadang hampir sama namun penyebutan untuk tradisi tersebut yang berbeda. Seperti nyawer dan Pasali tadi, tidak lain dilakukan sebagai wujud rasa bahagia, syukur, dan saling berbagi rejeki, tanpa ada batasan nilai yang diberikan kepada masyarakat,” jelasnya.

Olehnya, orang nomor satu di jajaran Dinas Komunikasi dan Informasi Sultra ini pun, meminta kepada semua pihak tanpa terkecuali, untuk bijak dalam menanggapi video yang sengaja dibagikan secara berulang-ulang tersebut, karena bisa menimbulkan keengganan pejabat atau pihak-pihak lainnya, yang ingin meluapkan kebahagiaan dan rasa syukur dengan berbagi kepada masyarakatnya dalam sebuah peringatan atau pesta bersama rakyat.

“Jadi kami berharap kepada semua pihak, untuk bijak dalam menanggapi video tersebut. Positiflah dalam memandang video tersebut, sebab Pak Gubernur bisa mengajak pejabat lainnya melakukan hal yang sama dalam memberikan rasa gembira kepada masyarakatnya,” kata Ridwan.

Ditambahkan, tradisi Pasali merupakan contoh kecil, dimana Gubernur Sultra sebagai eksekutor bisa menggerakkan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, dengan melibatkan peran serta pejabat lainnya, seperti Ketua DPRD Provinsi Sultra sebagai representasi legislatif dan Bupati Butur sebagai kesatuan dari pelaksanaan kebijakan Pemprov Sultra di daerah.

“Saya kira, inilah makna yang bisa kita ambil bersama. Dan hasilnya, seluruh pihak termasuk masyarakat Sultra dapat menyaksikannya dengan sejumlah pembangunan mega proyek di Sultra,” tutupnya.***

Siaran Pers yang memuat pernyataan Kadis Kominfo Sultra ini telah tayang dibeberapa media siber, dan mendapat kritikan di media sosial.

[Red]

Komentar