Catatan LM Irfan Mihzan
Kasamea.com
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, dan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi dianugerahi gelar kehormatan adat dan budaya Kesultanan Buton. LaNyalla diberi gelar “Mia Ogena Yi Saragau”, dan Ali Mazi diberi gelar “Mia Ogena Bhawaangi Yi Sulawesi Tenggara”.
Upacara penganugerahan gelar kehomatan adat dan budaya berlangsung hikmad di Baruga (kawasan Benteng Terluas di Dunia, Benteng Keraton Kesultanan Buton), Kamis 17 Juni 2021. Sebagai rangkaian kegiatan rapat kerja Lembaga Adat Kesultanan Buton (LAKB), yang dihadiri langsung oleh LaNyalla bersama delegasi DPD RI, didampingi Ali Mazi bersama Kepala OPD Pemprov Sultra.
Selain LaNyalla dan Ali Mazi, Wakil Gubernur Sultra Lukman Abunawas juga diberi gelar “Mia Ogena Sulewata Bhawaangi Yi Sulawesi Tenggara”, dan Sekretaris Jenderal Majelis Adat Kerajaan Nusantara Raden Ayu Yani WSS Koeswodidjoyo diberi gelar “Waoti Momalambu Yi Sara Adhati”.
Makna Gelar Kehormatan Adat dan Budaya Kesultanan Buton
LAKB melalui Kapitalao Matana Eyo (Panglima Perang Wilayah Timur) La Ode Muhammad Arsal, menjelaskan tentang makna penganugerahan gelar kehormatan adat dan budaya, sebagai berikut:
“Mia Ogena” terkandung makna ungkapan bagi seorang pejabat atau pemimpin yang memiliki kemampuan professional, pandangan jauh kedepan (visioner), kharismatik dan pengayom serta sanggup mewujudkan tujuan yang telah dicita-citakan.
“Yi Saragau” terkandung makna Dewan atau Lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengajukan, membahas, memberi pertimbangan atas usul rancangan undang-undang dan pengawasan jalannya undang-undang serta mengakomodir aspirasi masyarakat untuk kepentingan daerah.
“Waoti” terkandung makna ungkapan bagi sosok perempuan yang memiliki kecantikan, kemolekan dan murah hati.
“Momalambu” terkandung makna memiliki kepedulian, tekad dan semangat yang tinggi, serta kreatif dalam melakukan pekerjaan.
“Yi Sara Adhati” terkandung makna seluruh pekerjaan yang terkait dengan urusan pelestarian adat istiadat budaya bangsa dalam rangka membangun karakter dan jati diri bangsa dan Negara.
“Bhawaangi” terkandung makna batasan wilayah atau ruang lingkup kerja yang menjadi tanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada didalamnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
“Sulewata” terkandung makna pejabat yang mewakili atau pengganti dalam melaksanakan tuags dan fungsi.
Untuk diketahui, LaNyalla selaku anggota Dewan Pembina Pusat Majelis Adat Kerajaan Nusantara, Ali Mazi selaku Ketua Majelis Adat Kerajaan Nusantara wilayah Sultra, Lukman Abunawas selaku Ketua Harian Majelis Adat Kerajaan Nusantara wilayah Sultra.
https://youtu.be/47MWXzcuF6E Harap like n subscribe yah…
Ali Mazi Putera Buton
Sebagai putera Buton dan selaku pimpinan Pemprov Sultra, Ali Mazi mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Sultan Buton ke- 40 LM Izat Manarfa, yang telah memberinya gelar kehormatan. Baginya, gelar ini sebagai bentuk kepercayaan dan penghargaan yang sangat bernilai dan penuh makna.
Baginya, gelar kehormatan mengandung tanggung jawab moral, sekaligus memberi energi positif, sehingga semakin terdorong kedepan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah, dan pemberdayaan masyarakat yang diilhami oleh falsafah hidup Kesultanan Buton “bolimo karo sumanamo lipu (mengabaikan kepentingan pribadi demi kemajuan negeri).
“Sebagai putera Buton saya paham betul makna dan pesan falsafah hidup tersebut,” tegas Ali Mazi.
https://www.kasamea.com/maklumat-sultan-buton-pesan-ke-presiden/ baca juga
Oleh karenanya, lanjut Ali Mazi, dirinya yang telah diberi mandat oleh masyarakat dan pemerintahan, untuk memimpin Sultra, senantiasa berusaha semaksimal mungkin dalam mendedikasikan diri, demi terwujudnya Sultra yang aman, maju, sejahtera dan bermartabat.
Mewujudkan visi tersebut diatas, Ali Mazi bersama Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas, sedang giat giatnya melaksanakan lima program prioritas, salah satunya program “Sultra berbudaya dan beriman”. Sultra berbudaya merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Melestarikan adat-istiadat setiap kelompok masyarakat, serta melindungi dan menyelamatkan warisan budaya daerah sebagai akar budaya. Termasuk adat dan budaya Kesultanan Buton.
Ali Mazi lantas menegaskan, bahwa Kesultanan Buton telah memainkan peran penting di kawasan tenggara dan timur Sulawesi selama kurang lebih empat abad. Dalam perjalanan sejarah panjang Kesultanan Buton hingga saat ini, didalamnya telah tumbuh dan berkembang adat-istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat yang begitu kental, dan telah mewarnai setiap sendi kehidupan masyarakat Buton.
Setiap individu masyarakat Buton telah memiliki nilai budaya Buton yang penting dan patut dilaksanakan dalam kehidupan kemasyarakatan: pobhinci bhinci kuli, yang kemudian dikemas dalam Sara Pataanguna atau empat prinsip nilai, yaitu: pertama, Pomae-maeka (saling takut untuk tidak mendzalimi sesama); kedua, Popia-piara (setiap orang wajib memelihara sesama manusia); ketiga, Pomaa-maasiaka, (saling menyayangi antar sesama); dan keempat, poangka-angkataka (saling menghormati antar sesama), setiap orang harus menghormati hak asasi setiap manusia.
“Jika kita melihat maknanya, maka sudah sangat jelas untaian kata tersebut sangat mulia. Karena mengandung pesan moral, yang begitu dalam dan sarat nilai-nilai kebaikan terhadap sesama sebagai warga masyarakat. Sehingga kepada setiap individu masyarakat Buton senantiasa bersungguh-sungguh menjunjung tinggi Sara Pataanguna dalam aktivitas dan pergaulan sosial kemasyarakatan,” urainya.
Tantangan saat ini dan kedepan, lanjut Ali Mazi, adalah bagaimana eksistensi adat istiadat dan nilai nilai budaya Buton tetap terjaga. Karena mengingat kemajuan jaman terkadang membuat masyarakat, terutama generasi penerus, mudah terpengaruhi dengan budaya baru, dan cenderung meninggalkan budaya lama leluhurnya.
Oleh karena itu, keberadaan LAKB sebagai wadah yang memiliki legalitas, sangat tepat dalam menjaga kemurnian adat Kesultanan Buton, yang telah diwariskan oleh leluhur. Untuk senantiasa dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat, terutama masyarakat yang memangku adat Kesultanan Buton.
Ali Mazi mengungkapkan rasa kagum atas karya-karya besar para pendahulu/leluhur, baik berupa bangunan fisik, seperti Benteng Keraton Buton, yang hingga kini masih kokoh berdiri, dan situs sejarah lainnya. Maupun berupa nilai dan aturan hidup yang terangkai dalam adat istiadat dan budaya, yang dapat menciptakan kerukunan, keharmonisan dan kedamaian ditengah masyarakat.
Ali Mazi memastikan, sangat menyambut baik dan mengapresiasi, serta mendukung pelaksanaan rapat kerja Kesultanan Buton tahun 2021,”Momentum ini terasa begitu istimewa, bersama para delegasi DPD RI, serta Sekjen Majelis Adat Kerajaan nusantara, yang diharapkan dapat mendorong penguatan peran Lembaga Adat Kesultanan Buton untuk lebih berkontribusi bagi pembangunan di daerah ini,” semangatnya.
Pemerintah jelas membutuhkan eksistensi adat, budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat harmonis antar sesama, juga dengan alam lingkungannya. Sebagai unsur penting dalam pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Adat dan budaya Kesultanan Buton dapat menciptakan ketertiban masyarakat, karena adat budaya Buton telah mampu membentuk karaktek individu dan masyarakat yang taat hukum, memiliki etos kerja dan toleransi ditengah kemajuan masyarakat.
“Untuk itu saya menaruh harapan besar kepada pengurus Lembaga Adat Kesultanan Buton agar menjadi garda terdepan dalam merawat dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal adat budaya Kesultanan Buton. Dan juga bisa mewariskan kepada generasi muda dan generasi milenial,” pungkas politisi Nasdem kelahiran Buton, 25 November 1961 ini. (***)
Komentar