Catatan LM. Irfan Mihzan
Sekretaris Komite Nasional Percepatan Pembentukan Provinsi Kepulauan Buton (KNP3-Kepton).
Mayoritas mata hati pikiran rakyat Indonesia saat ini tengah tertuju pada satu konsentrasi yang sama, yakni Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pemilihan calon orang nomor 1 dan orang nomor 2 di negeri ini, dibayang-bayangi Pemilihan Calon Legislatif (Pilcaleg), yang juga masuk dalam agenda Pemilu yang sama, tepatnya 14 Februari 2024.
Seperti di jazirah barat maupun timur Indonesia, rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara, juga sama tengah terlena merayakan pesta demokrasi lima tahunan. Semarak, penuh kegembiraan, dan tetap dalam bingkai persatuan dan kesatuan. Meskipun berbeda pilihan, namun kita semua tetap Basudara : Bersaudara. Mendambakan sebuah negeri impian, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur, sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
Momentum pesta demokrasi lima tahunan, sampai juga kita pada implementasi hak politik, pilihan kita yang seyogianya terlaksana dengan jujur dan adil, secara langsung umum bebas dan rahasia. Pencoblosan lembar kertas suara, yang akan menghantarkan bangsa ini lima tahun kedepan. Terpilih hingga dilantiknya seorang Presiden didampingi Wakil Presiden, dalam ucapan sumpah/janji jabatan nan hikmad, penuh kesakralan. Dia yang akan menahkodai 278juta jiwa penduduk Indonesia (Pertengahan 2023).
Rekam jejak, kapasitas kapabilitas (kemampuan atau kecakapan dalam melakukan sesuatu), prestasi para kandidat Capres-Cawapres tentu sudah disaring oleh masyarakat pemilik hak suara. Karakter kepemimpinan, gestur, retorika, serta dialektika pun, tak luput dari kriteria penilaian obyektif rakyat, pemilik kedaulatan.
Plato menyarankan kita memilih pemimpin berdasarkan kebaikan dan kearifan, lebih daripada kelihaian dan kharisma.
Dalam pencarian keadilan (yaitu menuju ke arah pengurangan ketidakadilan dan ketimpangan). Aristoteles berargumen bahwa, tidak seperti para elit (di Yunani kuno ini berarti keluarga pedagang aristokrat), kelas menengah seharusnya memiliki imajinasi moral dan sensitivitas moral/sosial untuk memahami perjuangan masyarakat miskin atau kelas bawah, sehingga bisa beraspirasi untuk bertindak demi keadilan bagi semua. (Merlyna Lim : 2015).
Dibagian belahan bumi anoa, wilayah Kepulauan Buton (Kepton), samar, bahkan nyaris tak terdengar, boro-boro berkumandang atau menggaung, sebuah isu politik yang sangat strategis, yakni pemekaran Provinsi Sulawesi Tenggara, melahirkan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton).
Dari ketiga pasangan Capres-Cawapres, siapa yang sudi, berkenan, mewujudkan lahirnya Provinsi Kepulauan Buton (Eks Kesultanan Buton). Ditengah keruwetan kepentingan kelompok, kepentingan perorangan, politik kekuasaan, political will Presiden lah satu-satunya penentu mimpi itu akan menjadi nyata. Terbentuknya Provinsi Kepulauan Buton, de facto dan de jure. Sah!.
Komitmen sang pemangku kebijakan atau pengambil keputusan utama ‘Presiden’ sangat dibutuhkan dalam proses pencetusan dan pelaksanaan kebijakan pembentukan Provinsi Kepulauan Buton.
Bukankah langkah konkrit secara normatif, regulatif sudah dilakukan. Komponen/ elemen masyarakat sudah berkiat, pun lembaga legislatif, eksekutif, sudah pula menuntaskan giatnya. Tinggal political will Presiden.
Semoga negeriku Indonesia diberkahi Allah dan menjadi negeri baldatun thoyyibatun warabbun ghofur.
Baca juga :
Komentar