Penulis: La Ode Darmawan (Pegiat Hukum)
Surat Edaran (SE) Walikota Baubau Nomor 23/SE/HK Tahun 2025 tentang Penertiban Kegiatan Joget di wilayah Kota Baubau, yang memuat sanksi bagi masyarakat dan pelaku usaha menuai sorotan. Dalam konteks hukum ditegaskan, SE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pemberian sanksi.
Dalam perspektif hukum tata negara, SE tidak memiliki kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan, SE tidak sama dengan undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan menteri.
Secara formil, SE tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Artinya, SE tidak bisa dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi. SE tidak menciptakan norma hukum baru. SE hanya bersifat administratif dan imbauan. Boleh dilaksanakan, boleh juga diabaikan.
Sanksi pidana hanya dapat dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat, seperti undang- undang, peraturan daerah, atau peraturan pemerintah.
SE kepala daerah hanya bersifat imbauan, bukan peraturan yang mengikat seluruh masyarakat. SE Walikota Baubau tidak wajib ditaati karena tidak memiliki kekuatan hukum, jika tidak ada landasan peraturan yang lebih tinggi. Sehingga, SE Walikota Baubau tidak bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi kepada pihak yang melanggarnya.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE tidak termasuk sebagai bagian dari regulasi formal.
SE hanyalah bersifat arahan atau imbauan administratif, SE juga tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjatuhkan hukuman kepada masyarakat atau pelaku usaha.
SE iberada dalam rumpun administrasi negara, setara dengan nota dinas, bukan alat untuk menjatuhkan sanksi hukum.
Kegiatan acara joget yang menggunakan sound system di Kota Baubau, seharusnya pemerintah melakukan pendekatan persuasif, mencarikan solusi, bukan dengan mengeluarkan SE yang memuat ancaman dengan sanksi hukum yang tidak memiliki landasan hukum.
Bahkan ada pemaknaan dari pemerintah bahwa SE Walikota dikeluarkan atas keputusan bersama Muspida, ini pemaknaan yang keliru, SE tidak bisa menjadi keputusan bersama antara kepala daerah dan Muspida dalam konteks hukum yang mengikat dan memiliki sanksi, karena SE bersifat instruksi atau penjelasan tanpa kekuatan hukum, dan hierarki yang lebih rendah dibandingkan peraturan daerah.
Keputusan yang sah dan mengikat harus berupa peraturan daerah (Perda) yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.
Lalu siapa yang berhak mengawal SE ?
Yang berwenang mengawal atau melakukan pengawasan dan penegakkan pelaksanaan SE adalah instansi atau pejabat yang
menerbitkan SE tersebut melalui bawahannya, karena berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam lingkup organisasinya.
Bahkan Kepolisian tidak berhak secara otomatis mengawal SE, karena SE bukanlah peraturan perundang-undangan yang dapat ditegakkan secara hukum oleh polisi, melainkan hanya peraturan kebijakan atau instruksi internal.
Tugas utama Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, adalah : memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Masyarakat bisa mengadu ke DPRD sebagai wakil rakyat, atas keputusan Walikota dalam mengeluarkan SE, DPRD memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah, termasuk SE.
Jika SE tersebut dianggap bermasalah atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, DPRD dapat melakukan intervensi melalui berbagai mekanisme yang dimilikinya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:
mengatur tentang tugas, fungsi, dan wewenang DPRD, termasuk fungsi pengawasan. DPRD memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah, yang meliputi juga SE.
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam konteks SE, fungsi pengawasan yang paling relevan. Jika SE dianggap bermasalah, DPRD dapat melakukan beberapa tindakan:
– DPRD dapat memanggil pihak terkait melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), seperti kepala daerah atau instansi yang mengeluarkan SE, untuk dimintai keterangan dan penjelasan mengenai isi serta dasar hukum SE tersebut.
– Bahkan DPRD juga dapat mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk mencabut atau merevisi SE yang bermasalah.
“Intinya jangan dilarang, tetapi diatur agar ada kenyamanan masyarakat dalam kebebasan berekspersi./.
Harus ada solusi dari pemerintah daerah “Revisi atau cabut SE” agar tidak menjadi polemik dimasyarakat.
Dalam hukum tata Negara juga dikenal “Pseudo wetgeving” atau legislasi semu adalah aturan atau ketetapan yang diterbitkan oleh badan pemerintahan, namun tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak diperintahkan oleh undang-undang.
Sehingga dalam putusan MA No. 23P/HUM/2009, Mahkamah Agung menegaskan bahwa Surat Edaran yang isinya bersifat umum dan mengikat dapat dimohonkan uji materiil.
Komentar