Tari Sajo Moane Wakatobi Menuju Istana Negara

Kendari

Tari tradisional Sajo Moane dari Pulau Tomia Kabupaten Wakatobi akan menjadi salah satu penampilan budaya yang mewarnai upacara penurunan bendera HUT ke 80 RI di Istana Negara pada 17 Agustus 2025 mendatang.

Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Dispar Wakatobi, Arif Rahmansyah, menjelaskan bahwa undangan resmi dari Kementerian Pariwisata diterimanya akhir Juli. Menunjuk Wakatobi sebagai wakil Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menampilkan Sajo Moane di Istana Negara.

“Permintaan awal 200 penari, tetapi daerah hanya mampu memberangkatkan 70 orang, dan usulan ini disetujui Kemenpar,” kata Arif.

Arif mengatakan, persiapannya cukup singkat, di Tomia proses seleksi dilakukan dari 100 anak menjadi 70 yang terpilih. Mereka menjalani gladi dua hari di kampung halaman, sebelum berangkat ke Kendari untuk latihan intensif sejak 10 Agustus, di Gedung KONI.

70 penari asal Wakatobi, lanjut Arif,  berkolaborasi dengan 45 penari kreasi Sanggar Natural Kendari binaan Dr Sukri, yang ditunjuk langsung oleh Kemenpar, untuk memoles koreografi versi kolosal Sajo Moane.

“Rombongan dijadwalkan berangkat ke Jakarta, 13 Agustus sore. Di ibu kota, mereka akan kembali melakukan gladi di lokasi acara, 14 Agustus pagi, sebelum tampil pada puncak peringatan kemerdekaan,” jelasnya.

Isu Perubahan Gerakan

Menjawab isu perubahan gerakan yang sempat mencuat di masyarakat, Arif menegaskan, penampilan kali ini bukan Sajo Moane murni, melainkan kolaborasi.

Arif menjelaskan, sebelum menentukan koreografi, Dr Sukri juga telah bertanya kepada para pelatih Sajo Moane Tomia, mengenai batasan yang bisa, dan tidak bisa diubah. Kesepakatannya, selama gerakan asli, pakaian, kearifan lokal, dan nilai-nilai Sajo Moane tidak berubah, maka penyesuaian formasi diperbolehkan.

“Filosofi perjuangan tetap dipertahankan. Keaslian Sajo Moane tidak akan diubah untuk seterusnya. Hanya pada momen ini saja ditampilkan dalam bentuk kolosal dan kolaborasi,” jelasnya.

Arif juga menekankan, bentuk kolosal ini hanya berlaku pada momen peringatan kemerdekaan di Istana, sementara keaslian Sajo Moane akan tetap dijaga pada pementasan lain.

Salah satu tokoh penting yang ikut mengiringi penampilan ini adalah La Ode Abdul Hasan (53), sebagai penabuh gendang dari Desa Tiroau, yang mengaku belajar Sajo Moane sejak kelas 5 SD dari La Ode Muslihi.

Kala itu La Ode Muslihi sebagai pewaris Sajo Moane satu-satunya, dari sang ayah, La Ode Mbau.

“Dulu setiap sore kami latihan. Jumlah penari asli hanya 20 orang. Kostumnya tetap identik dengan warna merah, hitam, dan kuning, sama seperti sekarang,” kisahrnya.

Abdul Hasan sendiri pernah tampil di Festival Tari Tradisional Indonesia 1985 di Yogyakarta, mewakili Sulawesi Tenggara. Kini ia kembali dipercaya mengukir sejarah di Istana Negara, dan kali ini sebagai penabuh.

“Sajo Moane itu persatuan dan perjuangan. Syairnya ada pengaruh bahasa Makassar, tapi sebagian sudah sulit dipahami generasi sekarang,” katanya.

Abdul Hasan bersyukur atas perkembangan dan kelestarian tari Sajo Moane saat ini. November 2024, tari ini resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional, dan semakin mengukuhkan nilai sejarahnya yang sarat makna.

Dalam setiap gerak Tari Sajo Moane, terkandung unsur silat, adu parang, sebagai simbol perlawanan yang merefleksikan semangat perjuangan masyarakat Wakatobi pulau Tomia dimasa lampau.

Salah seorang pelatih pendamping, La Ode Bungane, yang bertugas membetulkan gerakan dan syair Sajo Moane, mengungkapkan, tari ini kerap diundang untuk ditampilkan dalam berbagai acara bergengsi.

Beberapa diantaranya adalah peringatan ulang tahun ke-23 Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1998 di Jakarta, yang kala itu dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto. Sebelumnya, tahun 1997, Sajo Moane juga pernah diundang tampil di Cirebon dalam Festival Keraton Nusantara II.

Selain itu, tarian ini juga pernah dipentaskan untuk menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo di Wakatobi.  (Redaksi)

Komentar