Firman Allah yang menggambarkan pribadi Rasulullah SAW yang sensitif terhadap penderitaan umatnya, (Q. 9: 128): “Telah datang kepadamu seorang utusan (Rasul) dari kalanganmu
sendiri, berat dirasakannya apa yang kamu derita, sangat memperhatikan kamu dan amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin”.
Tubuhnya nan kurus mungil, kulitnya kian menghitam terbungkus pakaian kumal. Kuku pada jari-jemari kaki dan tangannya kotor tak terurus, dan rambutnya pun berantakan. Diah (bukan nama aslinya) bermandi debu, begitu tegarnya melawan panas terik sang mentari, yang baginya sudah tidak terasa panas lagi.
Sore hari, Selasa 13 September 2022, saya menunggu kesempatan untuk menghampiri, dan mengajak Diah berbincang sekadar-nya. Usai-nya mendatangi satu persatu kendaraan roda empat, roda dua di lampu merah Jalan Sultan Hasanuddin Kilo Meter 1 Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara, #masih INDONESIA 🇮🇩.
Tanpa alas kaki Diah memijak aspal panas karena sengat teriknya mentari, yang baginya sudah tidak terasa panas lagi.
Sembari menunggu, terngiang dalam benak saya, sebuah Lagu seorang Musisi Legendaris, Iwan Fals, yang berjudul Sore Tugu Pancoran. Penggalan liriknya: “Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal”.
Saya pun berbincang singkat, pelan dengan Diah, meskipun harus mengulang pertanyaan yang saya berikan. Dalam keprihatinan, saya terfikir, dimana Negara, ketika anak sekecil itu harus berkelahi dengan waktu, ketika anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu selayaknya anak kecil lainnya.
Diah masih duduk dibangku kelas 1 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02 Kadolomoko, bersama dengan kakak laki-lakinya Daih (bukan nama aslinya), yang masih duduk dibangku kelas 3 SDN yang sama. Sudah hampir dua minggu ini keduanya menjalani keseharian “meminta-minta” disini, dimulai kisaran Pukul 13.00 sampai 21.00 Wita.
Bukan salah bunda mengandung, dan bila diberi kesempatan untuk memilih, tentu tidak pula keduanya menginginkan nasib seperti saat ini, menjalani hidup sebagai Anak Yatim, tanpa figur Ayah disamping mereka. Ayah Diah sudah sekitar tiga tahun meninggal dunia, berpulang ke pangkuan Illahi, dan sang Ibu tersayang harus merantau ke negeri orang untuk mengumpulkan uang, guna menafkahi Diah serta keempat kakaknya.
Di Negeri Syara Patanguna ini Diah, dan keempat kakaknya tinggal di Lingkungan Waramusio Kelurahan Kadolomoko Kecamatan Kokalukuna.
“Tahun depan mamaku baru dia pulang, karena masih cari uang,” jawab Diah, saat saya menanyakan kapan Ibunya pulang dari tanah rantau.
Dalam sekali meminta-minta, Diah dan Daih bisa mendapatkan Rp60 ribu sampai Rp100 ribu. Uang tersebut diberikan kepada kakak mereka, dipakai untuk membeli makanan, dan untuk membeli kebutuhan lainnya.
Dari tempat tinggalnya ke Lampu Merah Kilo Meter 1, Diah dan Daih menumpang Ojek yang dibayar Rp10 ribu per pengantaran.
Selain Diah dan Daih, ada seorang lagi anak yatim yang saya temui di Lampu Merah Kilo Meter 1, Rinto (bukan nama aslinya).
Rinto harus menerima kenyataan menjadi seorang anak yatim sejak masih bayi. Dan saat ini ia duduk dibangku kelas 3 SDN 7 Kadolomoko. Polos Rinto mengatakan bahwa dia sudah beberapa kali tinggal kelas.
Tak hanya di Lampu Merah Kilo Meter 1, Rinto juga sering mem-badut di area publik Kotamara, yang dalam sehari bisa mengumpulkan Rp70 ribu sampai dengan lebih Rp100 ribu. Rinto mengaku membeli sendiri kostum badutnya di suatu tempat yang disebutnya Gunung Kelor.
“Hasilnya saya kasi mamaku, dibagi dua, dan biasanya dipakai untuk beli makanan, dengan baju,” kata Rinto, yang memiliki seorang adik perempuan yang masih bersekolah di TK/PAUD.
Dari sebuah artikel berjudul ‘Good Governance Dalam Perspektif Islam (Pendekatan Ushul Fikih: Teori Pertingkatan Norma) 1 Juni 2015, karya Joko Setyono (Akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), menguraikan, bahwa salah satu nilai dasar dalam hukum Islam, adalah keadilan. Penegasan tentang keadilan tertuang dalam Q. 5: 8 yang artinya: “Berbuat adillah kamu, (karena) berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa”.
Masalah keadilan secara umum dan masalah kepastian hukum merupakan jeritan seluruh masyarakat Indonesia saat ini. Tata kelola pemerintahan yang baik menghendaki adanya jaminan kesamaan akses seluruh warga masyarakat terhadap sumberdaya politik, ekonomi, dan administratif.
Tanggung jawab sebagai nilai dasar syariah dapat diturunkan asas responsivitas dalam pemberian pelayanan. Secara khusus asas ini dapat pula disimpulkan dari firman Allah yang menggambarkan pribadi Rasulullah SAW yang sensitif terhadap penderitaan umatnya, (Q. 9: 128): “Telah datang kepadamu seorang utusan (rasul) dari kalanganmu sendiri, berat dirasakannya apa yang kamu derita, sangat memperhatikan kamu dan amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”.
Responsivitas adalah kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta merencanakan program-program pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu nilai dasar hukum Islam lainnya adalah amanah.
Didalam konsep amanah itu terdapat suatu asas akuntabilitas. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan (Q. 2: 42) yang artinya: “Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui”.
Tanya hati, inikah wujud Keadilan di Negeri Syara Patanguna?. Ditengah fenomena para Pejabat penumpuk cuan, dengan gelimang aset harta bergerak maupun tidak bergerak. Bahkan modusnya, ada yang membuatnya senyap dengan mengatasnamakan orang lain. ***
Catatan LM. Irfan Mihzan
(Pendiri/Pemimpin Redaksi Kasamea.com)
Komentar