Penulis: LM. Irfan Mihzan
Nampaknya persoalan aset antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Baubau masih akan berbuntut panjang. Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI yang melakukan supervisi termasuk pada persoalan aset ini, rupanya tak serta merta menjadi solusi.
Terkini, Bupati Buton La Bakry menyatakan, persoalan aset antara Pemkab Buton dengan beberapa daerah pemekarannya, termasuk Kota Baubau, sebenarnya telah tuntas dimasa kepemimpinan Bupati Samsu Umar Abdul Samiun. Menurut alumni sekolah ilmu pemerintahan ini, pasca kenaikan status Baubau dari Kota Administratif menjadi Kota Madya pada tahun 2001, Pemkab Buton telah melakukan penyerahan aset kepada Kota Baubau secara dua tahap, dengan cara hibah.
Disebutkannya, tahap pertama, diserahkan pada era Bupati Sjafei Kahar dengan total nilai aset sekitar Rp 991Miliar. Tahap kedua, diserahkan pada era Bupati Samsu Umar Abdul Samiun dengan total nilai Rp 35 Miliar.
Terkait penyerahan aset kedua, setelah Pemkab Buton berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Aset-aset yang wajib itu sudah tuntas, dan secara administrasi sudah diakui.
Buktinya kata La Bakry, pasca penyerahan aset tahap kedua, baik Pemkab Buton, maupun Kota Baubau, sama-sama meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI. (pernyataan La Bakry ini termuat dalam berita media cyber).
Sebelumnya, akhir Juni lalu, KPK RI melalui Tim Koordinasi, Supervisi, dan Pencegahan (Korsupgah) telah turun langsung menyikapi persoalan aset Buton-Baubau ini, sebagai Monitoring Center for Prevention (MCP). Persoalan aset juga merupakan salah satu sentra strategis yang menjadi perhatian KPK RI, aset suatu daerah tidak diperbolehkan dikuasai pihak lain. Bila itu terjadi, maka harus segera dikembalikan kepada daerah pemilik sah aset tersebut.
Untuk diketahui, Tim Korsupgah KPK RI mencatat lebih 100 aset yang belum diserahkan Pemkab Buton kepada Pemkot Baubau.
Penulis mencatat:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA BAU-BAU BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
(1) Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Kota Bau-Bau, Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang terkait, Gubernur Sulawesi Tenggara, dan Bupati Buton sesuai dengan kewenangannya menginventarisasi dan menyerahkan kepada Pemerintah Kota Bau-Bau hal-hal yang meliputi: a. pegawai yang karena tugasnya diperlukan oleh Pemerintah Kota Bau-Bau; b. barang milik/kekayaan negara/daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak lainnya yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Buton yang berada di Kota Bau-Bau sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Buton yang kedudukan dan kegiatannya berada di Kota Bau-Bau; d. utang-piutang Kabupaten Buton yang kegunaannya untuk Kota Bau-Bau; dan e. dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Bau-Bau.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya diselesaikan dalam waktu satu tahun, terhitung sejak pelantikan Penjabat Walikota Bau-Bau.
(3) Tata cara inventarisasi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari uraian singkat diatas, menjadi poin penting, apakah Pemkab Buton sudah menyerahkan seluruh aset kepada Pemkot Baubau, sesuai aturan perundang-undangan?. Dan apakah data atau catatan Tim Korsupgah KPK RI lebih dari 100 aset belum diserahkan Pemkab Buton kepada Pemkot Kota Baubau ini tidak singkron dengan data atau catatan aset yang diklaim telah diserahkan Pemkab Buton kepada Pemkot Baubau versi Pemkab Buton?.
Bila dalam perkembangannya La Bakry kemudian menyatakan bahwa persoalan aset Buton-Baubau telah tuntas, atau telah selesai didasarkan dengan adanya predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yang disematkan kepada Pemkab Buton, yang didasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Laporan Keuangan Pemkab Buton, adalah suatu konteks yang terpisahkan dengan tugas kewenangan KPK RI.
Jelas, KPK RI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK RI diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
KPK RI merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. KPK RI dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK RI sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK RI adalah: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Simple, bukankah sudah barang tentu KPK RI hadir mengintervensi persoalan aset Buton-Baubau ini bukan tanpa landasan hukum, bukan tanpa data, bahan, keterangan.
Dan lagi, bukan tak mungkin, KPK RI telah mengendus aroma rasuah dibalik polemik, atau yang berkaitan dengan aset Buton-Baubau, wallahu a’lam bish sawabi. (dari beberapa sumber)
Komentar