Seorang Ibu di Buton Didakwa Penggelapan, JPU dan PH Beberkan Ini!

Para saksi saat disumpah di ruang sidang PN Pasarwajo.

Buton

Seorang ibu di Buton Sulawesi Tenggara, Wa Ode Nuryani, didakwa Pasal 372 tentang Penggelapan. Sidang peradilannya tengah berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Pasarwajo, dalam agenda pemeriksaan saksi, ahli.

Sidang dipimpin Hakim Ketua Fudianto Setia Pramono SH, dan Hakim Anggota Tulus Hasudungan Pardosi SH MH, dan Hakim Anggota Yusuf Wahyu Wibowo SH.

Dari sejumlah saksi dan ahli yang sudah dimintai keterangannya dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Buton, Franca Moniqa, juga Advokat tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Harun Lesse, Hardi, dan Mawaki, memberikan penilaian yang berbeda.

Versi JPU

Franca menjelaskan, terhadap terdakwa dikenakan dakwaan tunggal, Pasal 372 KUHPidana, ancaman pidana empat tahun.

Sepanjang persidangan, pihaknya menghadirkan saksi sebagai salah satu alat bukti, yang ia yakini menguatkan dakwaan. Termasuk pendapat ahli yang juga diyakini menguatkan pembuktian dakwaan.

Namun begitu kata Franca, pihaknya tidak bisa menyimpulkan hasil persidangan, melainkan berpulang pada putusan hakim.

“Jadi kami panggil saksi dan ahli ya, makin memperkuat dakwaan kami. Diliat dari fakta persidangan nanti. Namun tetap kami tidak bisa simpulkan hasil persidangan, itu tetap nanti keputusan majelis hakim. Begitu,” ucapnya, diwawancarai usai sidang, didampingi Kasi Pidum dan Kasi Intel, di ruang kerja Kasi Intel Kejari Buton, Kamis (1/8/24) petang.

Franca mengatakan, pihaknya tidak bisa menyimpulkan keterangan saksi satu suara, sebab dari keterangan satu saksi ke saksi yang lain, juga ada dalam keadaan dan kesempatan yang berbeda-beda.

Menyangkut adanya pinjam meminjam dalam kasus ini (Antara pelapor dan terdakwa), Franca berpendapat, pihaknya tidak bisa mempersamakan keterangan para saksi. Sebab menurutnya ada juga saksi yang menerangkan soal utang piutang. Juga yang melihat secara langsung barang bukti berupa koper.

“Jadi kita nggak bisa samakan mereka sama-sama mengetahui bahwa ini pinjam-meminjam. Ada juga yang bilang itu utang-piutang, ada juga yang melihat secara langsung terkait dengan barang bukti tadi ya. Kan barang buktinya juga kami hadirkan ada beberapa, seperti misalnya koper,” urainya.

Franca mengatakan, saksi melihat uang dalam koper, dan koper itulah yang digunakan terdakwa dalam kronologi perkara dimaksud.

“Ada memang beberapa saksi yang melihat uangnya ditaru disitu, melihat juga koper tersebut yang kami tunjukkan itu. Bahwa benar barang tersebutlah yang digunakan oleh terdakwa dalam kronologi perkaranya kemaren. Maksudnya berkaitan dengan fakta kejadiannya, itu ada kaitannya dengan barang bukti itu,” jelasnya.

Tentang mens rea (niat jahat) dalam perkara ini, Franca menjelaskan bahwa pembuktian masih berlangsung, sehingga pihaknya lagi-lagi belum bisa menyimpulkan. Namun demikian, sebagai JPU dirinya tetap tegak lurus dan yakin, bahwa dengan alat bukti yang cukup, perkara ini naik dan dilimpahkan dari Polres Buton ke Kejari Buton, hingga kini bergulir sampai di meja hijau PN Pasarwajo.

“Alat buktinya membuat kami yakin perkara ini naik dan limpah dari kepolisian ke kejaksaan, akhirnya kita juga limpah ke pengadilan. Pasti secara formil dan materil memenuhi dong, kwalitas dari alat bukti yang kami sajikan,” lugasnya.

Franca merinci, pihaknya mengajukan lebih dari 10 orang saksi, termasuk seorang ahli. Barang bukti dua lembar surat, yang menurutnya sama diketahui baik oleh saksi maupun terdakwa. Ia lantas memastikan, pihaknya menghadirkan saksi serta alat bukti lainnya, yang mendukung atau menguatkan pembuktian.

“Kalau kita melihat, kemarin juga saksi kami tunjukkan terkait surat-surat tersebut, dengan terdakwa juga sama mengkonfirmasi, tau akan adanya surat tersebut. Mengetahui isinya apa, maksudnya apa, itu mengetahui, dan itu mendukunglah pembuktian. Nggak mungkin kita hadirkan pak, lagi-lagi alat bukti dan barang bukti, kalau nggak mendukung pembuktian kami,” urainya.

Menurut Franca, barang bukti surat dibagi tiga, yang berisi surat keputusan, sprin, misal dari instansi tertentu, dan ada juga berupa catatan atau keterangan. Bahkan dalam catatan pribadi pun masuk dalam barang bukti surat.

“Maksudnya alat bukti surat dan diperjelas menjadi barang bukti, makanya dilakukan penyitaan. Dan yang ketiga tadi hal-hal atau surat yang berkaitan. Jadi surat ini ada kategorinya, makanya kita juga nggak bisa simpulkan, bahwa ini nanti nggak masuk surat, itu nanti, nanti akan kami analisa secara yuridis, dalam tuntutan kami,” tambahnya.

Versi PH Terdakwa

Diwawancarai terpisah, pihak PH terdakwa, Harun Lesse mengungkapkan, bahwa yang didakwakan Jaksa adalah Pasal Penggelapan, dengan modus pinjam meminjam.

Dari perkembangan sidang beberapa hari ini, menurutnya, beberapa orang saksi yang dihadirkan JPU, tak ada satupun yang mengetahui tentang pinjam meminjam antara pelapor Alidun dan terdakwa. Tidak ada yang melihat langsung, tidak ada yang mendengar langsung, pun tidak ada yang mengalami langsung.

Begitu pula saat penyerahan uang dari pelapor kepada terdakwa, tak ada satupun saksi yang melihatnya secara langsung.

“Semua saksi-saksi, mengenai pinjam meminjam itu, sifatnya mendengar dari Alidun sebagai pelapor. Jadi tidak ada yang melihat penyerahan uang dari pelapor ke terdakwa. Tidak ada yang melihat. Pinjam meminjam tidak bisa dibuktikan,” tegasnya.

Harun menilai, selama persidangan perkara ini, tidak ada keterangan saksi yang mengarah pada pinjam meminjam terlebih lagi penggelapan, sebagaimana yang dituduhkan kepada terdakwa.

Kemudian lanjut Harun, dugaan Penggelapan yang dituduhkan, Pasal 372 KUHP berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagainya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

Harun menuturkan, ahli juga sudah menerangkan masalah mens rea (niat jahat). Menurut Harun, tidak ada mens rea dalam perkara yang dituduhkan kepada kliennya. Terbukti, bahwa yang terungkap dalam persidangan, sisa uang dari aliran uang untuk proyek pelapor, ternyata ada pada Direktur CV. PP dan CV. DC, yaitu retensi, sejumlah Rp1,7 Miliar.

“Sesuai pengakuan Direksi (Juga sebagai saksi) sendiri, dan pengakuan salah satu saksi lainnya (Inisial IH). Itu dia punya inti itu disitu. Jadi menurut kami masalah penggelapan ini harusnya dia arahkan ke Direktur, tidak bisa ke terdakwa sekarang ini,” bebernya.

Merespon keterangan ahli yang diajukan JPU, menyangkut bukti surat, menurut Harun, bukti surat yang diajukan JPU tidak memenuhi syarat, baik secara materil maupun formil. Nantinya, pihaknya akan memperbandingkan dengan keterangan ahli yang akan pihaknya dihadirkan pada sidang berikutnya.

Kata Harun, baik bukti surat perjanjian, bukti penyerahan uang berupa kwitansi, juga tidak ada. Kwitansi yang ada, hanya penyetoran uang dari Direktur sewaktu membeli RPA (Untuk pekerjaan proyek pengaspalan), dan kwitansi serah terima uang pinjam meminjam pelapor dengan pihak lain. Tidak ada bukti surat antara pelapor dengan terdakwa.

“Bukti catatan itu hanya klarifikasi pengeluaran dan pemasukan dan sisa uang (Pekerjaan proyek). Itu catatan saat pelapor memerintahkan saksi (IH) mencairkan retensi di Kendari. Tapi kan tidak jadi itu. Jadi catatan itu tidak berlanjut, sebenarnya. Yang satunya, catatannya pelapor waktu menyuruh istrinya saksi (F) datang ke terdakwa. Tapi kan itu tidak jelas juga, tidak bisa dipertanggungjawabkan bukti surat itu,” urainya.

Lebih jauh Harun juga mengungkap, tentang adanya catatan diakhir dari pekerjaan proyek, yang tidak terkonfirmasi kepada terdakwa.

Advokat senior ini menambahkan, dalam sidang Selasa pekan depan, masih dengan agenda keterangan saksi JPU, yang tidak hadir pada sidang Kamis 1 Agustus 2024. Selanjutnya, sidang Kamis pekan depan, pihaknya akan menghadirkan dua orang saksi a de charge, dan ahli.

Ditambahkan oleh Hardi, terkait pendapat ahli mengenai alat bukti. Bahwa alat bukti keterangan saksi, harus dibuktikan apa yang saksi terangkan.

Pihaknya kata Hardi, mengkonfirmasi kepada ahli, mengenai, apakah dengan menyetorkan uang, mengambil uang, memberikan uang kepada terdakwa, sudah bisa dikatakan bahwa itu adalah tindak pidana Penggelapan?. Sementara saksi-saksi tidak pernah melihat secara langsung suatu perbuatan pidana Penggelapan.

“Mereka (saksi) hanya menjelaskan bagaimana datangnya uang dan perginya uang. Rata-rata saksi hanya tau persoalan ini dari pelapor, mereka tidak pernah melihat langsung, mendengar langsung, dan merasakan langsung tindak pidana yang dituduhkan ke terdakwa tersebut,” tegasnya. (Redaksi)

Komentar